Monday, December 25, 2017

T A N A H

15 Desember 2017
Pagi hari
Di ruangan kelas 9
Sedang mengerjakan rapot
Tiba-tiba ada wa masuk di grup keluarga,

Teh santi happy bday, semoga panjang umur, sehat selalu, diberikan rezeki berlimpah,happy selalu


Waduh, saya lupa hari ini istri ulang tahun... Keasikan bikin rapot... Hahaha... padahal mah memang gak pernah inget. Maaf ya Mbu...

Desember adalah hari lahir dua perempuan hebat, ibuku dan istriku.

Di penghujung tahun 2017, saya masih belum bisa berbuat banyak untuk keduanya. Alasannya klasik, tidak ada uang. Membuatku jadi bertanya-tanya, memang kenapa kalau tidak ada uang?

Coba kita lihat, saat ini semua hal pokok harus diganti uang, dan semua akan menuju ke sana, tinggal menunggu udara yang kita hirup jadi berbayar saja.

Kecuali kita berbuat sesuatu.

Setiap hari kita membeli kebutuhan pokok, seperti makan, minum, listrik, air bersih, gas, transportasi, menjaga kesehatan, pendidikan, dan bersosialisasi. Belum lagi kalau satu hari anggota keluarga ada yang tertimpa musibah seperti sakit atau yang lain. Plus tentunya biaya untuk rekreasi.

Kenapa sepertinya hidup teh makin mahal? Mengapa teknologi makin maju teh malah bikin kesenjangan tambah parah?

Akibat populasi makin padat dan globalisasi?

Sebagai generasi millenial, terlihat kesejahteraan hidup makin sulit didapat. Kalau sejahtera itu diukur dengan harta, maka generasi millenial berada dalam kesulitan. Makin banyak yang tinggal bareng ortu, makin banyak yang hasil usahanya gak bisa beli aset, makin banyak yang jadi pengangguran karena perusahaan bangkrut.

Jadi mending jangan ukur sejahtera dengan harta, walaupun bakal sulit, karena media-media sosial, mempertontonkan gaya hidup yang glamor. Banyak duit itu sama dengan sejahtera.

Tapi tidak bisa dipungkiri, semua itu saling terkait, jika negara ingin ambil bagian maka ada persoalan utama untuk diatasi, yaitu tanah.

Saat ini, sangat tidak masuk akal, kerja di pusat kota, tapi tinggal di kabupaten. Udah mah jauh, macet pula. Hidup/kerja itu habis di jalan. Tata wilayah kota harus diperbaiki. Bisa dibilang, yang punya kebijakan saat ini kurang ngerti peliknya masalah tanah ini. Karena mereka mah punya. Dan buat mereka harga tanah makin mahal ya makin bagus. Sementara buat rakyat mah di pinggir we, jauh-jauh. Hehehe.

Gimana bisa punya waktu berkualitas bersama keluarga, yang ada capek. Sampai rumah langsung menggoler.

Bayangkan jika tata wilayahnya diperbaiki. Tiap wilayah itu ada perumahannya, perkantoran, pusat perdagangan, serta tempat rekreasi. Tentunya kota akan lebih sehat. Moal pabeulit siga ayeuna.

Tapi kumaha carana? Selama mindsetnya prinsip ekonomi mah ya sudahlah...

Betapa sedihnya kelak generasi anak cucu kita, yang bisa punya rumah tengah kota hanya segelintir orang saja. Itu pun sudah dalam bentuk apartemen, bukan lagi rumah hak milik.

Mending ka desa we lah, membangun yang baru jauh dari kota.

Tapi terus teh desana ancur kusabab orang kota nu ka desa hoyong aya mall-mall jeung pabrik-pabrik, plus jalan tol, sareng jalan layang, terus bere we taman. Hahahaha

Jadi lieur...

Catatan: saat ini Jawa sebagai pulau terpadat di Indonesia menghasilkan kerugian luar biasa akibat kemacetan setiap harinya. Solusinya bukanlah penataan ulang wilayahnya, tetapi pembangunan jalan tol dan jalan layang. Perumahan makin mahal dan makin jauh dari pusat kota. Bayangkan setiap hari seorang anak, pulang pergi rumah - sekolah perlu 2-3 jam. Begitu pula para orangtua yang bekerja, perlu waktu yang sama untuk pulang pergi rumah - kantor. Untuk mengatasinya orang-orang beli kendaraan pribadi atau pakai taksi online, yang mana mengakibatkan jalanan malah makin padat.

Saya ingat dulu, waktu SD mau ke sekolah itu tinggal pakai becak atau jalan kaki, tidak sampai 30 menit sudah sampai sekolah.

Tapi itu kan dulu... Dan itu baru persoalan tanah, belum masalah air, energi, pangan, kesehatan, kesenjangan, dst... Waw banyak warisannya... Maafkan generasi bapakmu ini nak.

Semoga tahun 2018-2019, saya dan keluarga bisa mulai beli tanah, bangun rumah, yang jauh dari hiruk-pikuk kota.

Wednesday, November 1, 2017

20 Tahun

20 tahun lalu saya lulus dari SMPN 13. Seperti halnya sewaktu SD ke SMP saya beruntung dapat nem yang cukup tinggi. Begitu juga sewaktu mau masuk SMA. Nem saya cukup untuk masuk SMA 5, Alhamdulillah.

Seingat saya, saya tidak pernah mikirin nanti mau masuk jurusan apa. Sekolah mah sekolah we. Baru milih teh pas kelas tiga SMA lah. Waktu SMP mah boro-boro mikirin jurusan, milih IPA/IPS aja nggak.

Di sisi lain, semua materi pelajaran yang di dapat itu gak ada yang benar-benar saya pahami kegunaannya untuk apa. Mungkin memang benar seperti Kak Robert bilang, yang penting itu strukturnya. Kita jadi belajar efektif, efisien, bisa ngatur prioritas, ngelola waktu, dan bertanggung jawab. Memang pelajaran itu hanya cara/metode. Cara agar kita memahami diri kita sendiri dan lingkungan kita dengan lebih baik.

Saya juga bukan kakak yang baik dalam hal memberikan motivasi. Kalau sedang hiking, terus adik-adik bertanya, "Kak, masih jauh?" Saya pasti jawab apa adanya. "Iya, masih jauh. Jauh banget! Hehehe."

Perjuangannya memang berat. Mun gampang mah gak usah ada sekolah. Gak usah ada pelajaran-pelajaran yang bikin ngantuk, atau yang gak kita sukai. Tapi pada akhirnya, yang sulit itu malah yang bikin kita tambah pengalaman. Lalu yang bikin ngantuk itu yang ternyata kita butuhkan.

Sewaktu kuliah, tiga kali saya mengulang kuliah kalkulus. Sudah ngulang tiga kali pun cuma dapat nilai C. Terus apa saya harus menyerah?

Mengeluh itu bukan solusi. Jika ingin hasil yang berbeda, cara yang dilakukan juga harus berbeda. Ingin sukses? Kalau caranya hanya mengeluh apa bisa sukses?

Seperti kisah hiking tadi. Kalau sudah sampai puncak memang ada apa? Biasanya malah gak ada apa-apa. Paling cuma pemandangan doang. Oleh karena yang menarik itu selalu perjalanannya. Tinggal kita pilih, mau sampai ke puncak dengan terus mengeluh atau menikmati setiap langkahnya?

=========
Jati Gede


Catatan pinggir:

Lewat sains dan matematika saya menemukan Tuhan. Kita bisa menemukan segala bentuk keindahan alam serta segala keteraturan dari mulai tubuh kita hingga alam semesta. Tapi semuanya rumit, seperti tidak berpola. Untungnya manusia diberikan otak yang dapat menemukan pola-pola dalam ketidakteraturan tersebut.

Berpusing-pusing sedikit ternyata ada faedahnya.

Seperti barisan fibonacci: 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, 34, ...

Golden ratio muncul dari pola ini. Ditemukan oleh Leonardo Fibonacci pada tahun 1200an, setiap pasangan berurutan dari barisan tersebut saat dibagi jadi makin dekat dengan nilai golden ratio / phi 1,618...

Contoh: 5/3 = 1,666...
34/21 = 1.619048
Dst.
Semakin besar angkanya, maka nilai baginya makin mendekati phi.

Golden ratio ini ditemukan di banyak tempat. Perbandingan piramid, tubuh manusia, bentuk kerang, sampai bentuk galaksi.

Saya yakin ada kekuatan yang maha dahsyat yang mampu menciptakan keteraturan tersebut.

Saat mempelajari ilmu spektrum cahaya, kita pun menemukan keajaiban yang lain, mungkinkah ada kehidupan di tempat lain di alam semesta ini?

Semoga hasrat untuk bertanya, untuk menemukan berbagai jawaban tidak akan pernah pudar. Tidak kalah oleh malas dan keluhan. Tidak kalah oleh rasa takut dan minder.

Seperti kepingan puzzle. Saat ini mungkin kita belum tahu manfaatnya apa, tapi kelak yakinlah keping itu akan menemukan tempatnya.

Sumber: https://www.livescience.com/37704-phi-golden-ratio.html

Saturday, September 16, 2017

Superman

Tiga tahun ini saya diberikan kesempatan untuk menjadi fasilitator di SMP Semi Palar Bandung. Bagi saya bertemu anak-anak usia 13-15 tahun sudah bukan barang baru, karena kebetulan sejak tahun 2003 saya menjadi Pembina Penggalang di Gugusdepan KB 13007. Jenjang SMP ini menarik karena masa pubertas mulai terjadi di usia ini, bisa dibilang sangat nanggung, bahkan banyak rekan bilang mending SD atau SMA daripada mengajar SMP. Memang cukup sulit untuk bisa memahami persoalan-persoalan anak-anak usia remaja saat ini. Dengan munculnya berbagai teknologi gawai berkat internet, ternyata malah menjadikan kehidupan remaja semakin rumit. Seperti misal mudahnya akses konten kekerasan dan pornografi, lalu penggunaan gawai yang berlebihan sampai kecanduan.

Pada usia tersebut, mereka sedang bertumbuh secara fisik dan pemikiran, mereka aktif, kritis, pemberontak, dan praktis. Namun mereka juga cenderung pemalas, "jika bisa tidak dilakukan mengapa harus dikerjakan?" Pada banyak kesempatan mereka akan mencoba mengetes Kakak/Guru yang mereka temui, apakah dapat mereka percayai, atau malah harus mereka kerjai. Dalam keseharian, mereka datang ke sekolah untuk bisa bertemu dengan teman-teman daripada untuk belajar, mereka datang untuk bisa eksis, cerita update berbagai tren terbaru, ataupun hal-hal yang mereka anggap lucu.

Saya pun dulu pernah melewati masa-masa itu, walaupun tanpa adanya gawai dan internet. Masa-masa yang memerlukan tingkat kedirian yang cukup baik agar tidak terseret oleh dinamika pertemanan. Jika tidak mengikuti perkembangan yang sedang hits maka akan dianggap aneh, tidak keren, atau kurang gaul. Benih-benih kerusakan, seperti geng motor, seks bebas, rokok, dan narkoba hadir di usia ini.

Tapi masa yang penuh tantangan tersebut tetap harus dilalui. Jika dapat melewati fase tersebut, buahnya akan terasa manis saat nanti menginjak masa perkuliahan. Kebiasaan serta karakter yang kuat selalu menjadi kunci bagi kesuksesan.

Bagaimana Semi Palar mencoba menjawab tantangan tersebut?

Dengan pendidikan berbasiskan proyek-masalah-tempat (Project-Problem-Place Based Learning), SMP Semi Palar mengadaptasi kurikulum nasional ke dalam bentuk pendidikan tematik yang mengambil lokasi geografis untuk olahan setiap jenjangnya. Kelas 7 bertemakan Kota Bandung, kelas 8 bertemakan Pulau Jawa, dan kelas 9 bertemakan Wawasan Nusantara.

Tiga tahun saya dipercaya menjadi fasilitator di kelas 8 SMP Semi Palar, artinya tiga kali saya bersama rekan-rekan membimbing anak-anak untuk melaksanakan satu kegiatan yaitu Perjalanan Besar ke kota-kota di Jawa. Bentuknya tentu saja berbeda dengan karyawisata pada umumnya, anak-anak sedari awal diminta untuk menabung, lalu mempersiapkan segalanya sendiri dan berkelompok. Mereka tidak berangkat menggunakan bus/mobil sewaan dan tidur di hotel, tapi ala backpacker, mereka berangkat menggunakan kereta dan angkutan umum, serta berjalan kaki. Tidur dan makan pun seadanya, disesuaikan dengan budget yang sudah disiapkan lewat menabung, berjualan, atau magang dengan orang tua.

Sisi-sisi karakter seperti kemandirian, kepemimpinan, kerja sama, komunikasi, kemampuan riset, serta kreativitas terpadu semuanya masuk dalam proyek Perjalanan Besar. Materi-materi pembelajaran pun turut masuk ke dalam proyek tersebut, pelajaran-pelajaran Matematika, IPA, IPS, PKN, Bahasa, Agama, Seni Budaya, dirangkaikan untuk dapat jadi bagian dari Perjalanan Besar, disesuaikan dengan olahan kota-kota yang akan dikunjungi.

Sepulangnya anak-anak diminta untuk membuat buku jurnal Perjalanan Besar. Sebuah proyek yang menggenapkan semua pembelajaran yang telah di dapat, dengan cara membagikan pengalaman mereka lewat sebuah buku karya bersama.
Tentunya Kakak/Guru jadi perlu segala bisa, dari mulai memadukan materi-materi pelajaran ke dalam proyek, memimpin perjalanan, mengatasi keadaan gawat darurat, mencari narasumber yang tepat untuk anak-anak, sampai memfasilitasi proses pembuatan buku hingga peluncuran bukunya.

Tujuan metode tersebut adalah agar anak bisa memahami bagaimana penerapan materi-materi pelajaran yang sudah ia dapatkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Karena pada saat masuk kehidupan bermasyarakat kelak, mereka harus bisa berkolaborasi dengan berbagai disiplin ilmu, memiliki kemampuan komunikasi yang mumpuni dengan siapa pun, mampu berpikir kritis, serta dapat berpikir kreatif untuk bisa memecahkan berbagai persoalan yang semakin kompleks.

Hasilnya jadi menarik saat akhir semester tiba. Seperti saat ujian, di Semi Palar tidak ada soal pilihan ganda, semua soal berbentuk esai. Anak-anak diharapkan dapat menemukan hubungan sebab-akibat serta mampu menjelaskan dan menerapkan ilmu-ilmu yang sudah di dapat. Lalu pembuatan rapotnya pun berupa detail penceritaan proses pembelajaran anak di semester tersebut, bukan berupa nilai-nilai angka/huruf saja.

Tidaklah berlebihan jika Kakak/Guru di SMP Semi Palar itu seperti superman/superwoman. Harus siap kapan saja, dan harus serba bisa.
Pengajarnya tidak bisa fresh graduate, perlu pengalaman bekerja terlebih dahulu, atau perlu kaya dengan pengalaman berorganisasi. Harus mampu improvisasi, berpikir cepat, dan kaya dengan referensi. Mereka juga harus memiliki kedirian yang kuat agar bisa selalu objektif, tidak mudah terbawa emosi saat menghadapi anak-anak di kelas. Dan yang tidak kalah penting, mampu mengaitkan berbagai pengetahuan dan pengalaman serta materi-materi kurikulum nasional ke dalam pembelajaran proyek di kelas.

Adakah Kakak/Guru ideal semacam itu?

Yang pasti sulit sekali, jika tidak mau dibilang tidak ada. Lagipula memang apa salahnya dengan pendidikan sekolah biasa? Cukup banyak salahnya menurut saya, karena sekolah formal pada umumnya hanya mengejar nilai akhir saja, semua sudah ada standarisasinya, bukan mengejar pemahaman tapi yang penting hapal dan mampu ujian, bukan belajar berkolaborasi tetapi berkompetisi, bukan memupuk kreativitas tetapi memasungnya, dengan terus memaksa anak duduk di kelas mendengarkan guru dan mengerjakan tumpukan tugas dan soal-soal. Lalu yang paling sulit adalah besarnya jumlah anak dalam satu kelas sehingga tidak mungkin bisa dilakukan pengamatan dan terperhatikan satu per satu.

Jadi guru teh kudu kumaha?

Saya juga tidak tahu. Bahkan apakah saya layak disebut sebagai guru? Masih bingung menjawabnya.

Berkaca dari konsep Ki Hajar Dewantara mengenai guru, saya kira tepatlah jika profesi guru itu harus berupa pengabdian. Alangkah sulitnya mendidik anak-anak apabila guru masih memikirkan urusan dapur. Tapi sulit juga mencari orang dewasa yang sudah mapan dan kaya pengalaman mau menjadi seorang guru. Jadi tidak salah jika seorang guru yang baik itu ibarat Superman.

Untuk semua guru-guru saya, terimakasih atas semua dedikasimu.

Semoga saya bisa melanjutkan pengajaran mereka.

Friday, August 25, 2017

Menyambut Matahari

Kehidupan selalu berhasil memberikan berbagai kejutan. Dan seperti biasa, semua itu sangat tergantung bagaimana kita menyikapi kejutan-kejutan tersebut. Kadang terharu, kadang marah, kadang iri, kadang bangga, kadang sedih, kadang bahagia, dan kadang-kadang yang lain.

Hari ini sembilan bulan yang lalu, istriku berkata kalau ia hamil lagi. Terkejut saya merespon, "Aduh...". Saat itu saya menyadari, walau dalam keluarga saya adalah yang tertua dari lima bersaudara, saya tidak pernah habis pikir bagaimana bisa mengurus lebih dari satu orang anak? Begitu banyak tantangannya, moril, materil, finansil, belum lagi saat menyaksikan istri berjuang keras saat proses melahirkan dan pasca melahirkan anak pertama. Setelah besar, tantangannya semakin kompleks, nanti sekolahnya gimana? Temennya gimana? Usahanya gimana? Kawinnya gimana? Dan gimana-gimana lainnya.

Tapi menurut saya pertanyaan terbesarnya adalah, dapatkah saya jadi kepala keluarga yang baik?

Selama sembilan bulan saya membuat berbagai targetan, seperti menabung, belajar tentang kehamilan, agar cukup paham perkembangan dari mulai janin hingga balita. Namun ternyata tidak berhasil. Untuk menyisihkan uang saja sulit sekali, selalu ada kebutuhan mendadak.

Jika dilihat dari sudut tersebut saya cukup gagal jadi kepala keluarga yang baik. Untuk bisa memberikan penghidupan yang layak diperlukan setidaknya penghasilan 2x lipat dari UMR.

Tapi kemudian saya sadari itu semua relatif, saya ingat satu hari saat sedang jalan kaki malam hari sepulang bekerja, saya bertemu lagi dengan keluarga gerobak. Sang ibu mendorong gerobak berisi sampah-sampah plastik dan kertas yang bisa di daur ulang. Empat anak-anaknya, dua yang masih kecil duduk di dalam gerobak, sementara dua yang lebih besar ikut jalan bersama ibunya.

Di satu belokan, tiba-tiba mereka berhenti, di dekatnya ada warung rumah makan, dan pemilik warung dengan baik hati memberi mereka makanan, cukup untuk satu kali makan. Lalu mereka melanjutkan perjalanan.

Bagaimana bisa mereka bertahan hidup? Bagaimana nanti anak-anaknya akan bisa tumbuh dewasa dengan normal? Mengapa orangtuanya malah terus bikin anak?

Rabu dini hari kemarin, istriku tiba-tiba muntah-muntah. Maag akutnya kambuh. Semua makanan keluar, bahkan minum air pun muntah lagi. Rabu pagi langsung kontrol ke dokter. Dan melihat ukuran bayi dalam kandungan dokter bertanya mau dilahirkan malam ini?

Saya langsung ikutan sakit perut. Malam ini? Duitnya sama sekali belum ada. Tapi kalau ditunda lagi, kondisinya mungkin bisa lebih membahayakan. Akhirnya saya putuskan malam ini saja dilahirkan. Urusan uang biarlah berutang ke orangtua dulu.

Siang itu pun istri masuk IGD. Di induksi menggunakan balon supaya bisa cepat menambah bukaan. Shihab ikut gelisah, saat melihat ibunya dipasangi selang oksigen. "Kita berdoa ya supaya Ambu dan dede bayi sehat. Malam ini Abah dan Ambu bakal nginep di rumah sakit. Shihab bobo di rumah sama Aki dan Ateu ya." "Iya Ambu..." Begitu obrolan istri dan anakku sore hari.

Tengah malam harinya, kontraksi datang dua menit sekali, sudah bukaan 9. "Tunggu sampai bukaan 10 ya Bu, ibu harus atur napas, supaya gak kehabisan tenaga, karena bayinya besar." Dan satu kali lagi saya mendampingi istri melahirkan. Tegangnya bukan main, melihat kepala kecil keluar, lalu masuk lagi, beberapa kali hingga akhirnya satu bidan naik ke atas kasur dan bantu mendorong, lalu muncullah seluruh badan, tubuh mungil yang gempal. Hari Kamis pukul 1:22, langsung plong rasanya proses lahiran berjalan lancar, ibu dan bayi selamat. Satu nyawa dipercayakan Allah SWT untuk dititipkan kepada kami.

Itulah hidup, kita tidak akan pernah tahu jalan yang ada di depan kita seperti apa. Hidup saya sejauh ini memperlihatkan, tidak mungkin kita bisa menjalani hidup sampai ke titik kita saat ini tanpa bantuan orang lain. Kesulitan akan selalu muncul, tapi setelah kesulitan akan muncul juga kemudahan.

Seperti malam ini, saya selalu berharap masih diberi kesempatan untuk bisa melunasi utang-utang saya, membahagiakan keluarga, dan memberikan manfaat.

Berharap esok matahari masih terbit dari timur. Menyambut sinar matahari yang lembut dan damai, Savitri Aryasena Frisanti.

Friday, August 18, 2017

Baris-Berbaris di Semi Palar

Tahun ini, teman-teman SMP Semi Palar diminta untuk mengisi acara Selametan TP13 dengan membuat formasi baris-berbaris. Ide yang menarik, karena anak-anak di Semi Palar tidak mengenal kegiatan baris-berbaris kecuali saat upacara bendera. Berbeda dengan saya dulu yang kental dengan kegiatan baris-berbaris, karena ikut pramuka dan sewaktu SMP sering ikut lomba tata upacara bendera.

Awalnya latihan baris-berbaris di Semi Palar bukan diperuntukkan untuk kegiatan selametan. Para kakak SMP sepakat di TP13 ini anak-anak perlu satu kegiatan yang bisa meningkatkan konsentrasi, kebersamaan, dan melatih postur tubuh. Jadi kami memutuskan untuk memberikan pelatihan baris-berbaris kepada teman-teman. Suasana yang berbeda tentu dirasakan oleh teman-teman, kegiatan belajar yang biasanya cair, dekat, dan penuh canda tawa, pada saat latihan baris-berbaris hal tersebut tidak ada.

Kegiatan baris-berbaris memang lumrah digunakan oleh militer sebagai sarana latihan mengikuti perintah, belajar dipimpin lewat aba-aba yang diberikan oleh pemimpin pasukan. Semua sudah ada aturannya, tidak boleh ada gerakan lain selain aba-aba dari pemimpin pasukan. Pada sesi latihan yang pertama teman-teman dapat melihat dan merasakan kakak-kakak berubah jadi tegas, suasana pun jadi hening karena semua berkonsentrasi dengan aba-aba yang akan diberikan.

“Semua paham?” Serempak teman-teman menjawab, “Paham!” Begitu ucap mereka saat kakak memaparkan fungsi dan tujuan dari kegiatan baris-berbaris kali ini. Selama satu minggu, teman-teman berlatih gerakan-gerakan di tempat, jalan di tempat, haluan, hingga maju jalan dan berbelok. Memang waktunya terlalu singkat. Walau dengan semangat teman-teman yang tinggi, gerakan-gerakan mereka masih jauh dari sempurna. Kesulitannya terletak pada perbedaan tinggi badan serta menyesuaikan tempo irama. Gerakan-gerakan jadi tidak beraturan, karena teman-teman sulit menyamakan tempo khususnya pada saat jalan di tempat dan gerakan berjalan.

Setelah sesi terakhir usai, semua bertepuk tangan merasakan perkembangan walau hanya satu minggu. Kini mereka bisa lebih mengenal satu sama lain, belajar menyesuaikan irama dan langkah.

Dan hari itu pun tiba, seminggu sebelum selametan Kak Andy mengumpulkan teman-teman SMP dan bertanya, “Apakah teman-teman bersedia untuk melakukan formasi baris-berbaris pada acara selametan nanti? Teman-teman akan membawa patung Soekarno, Hatta, dan Bendera Merah Putih, ke tengah-tengah karya yang dibuat oleh seluruh warga SMIPA.”, merasa tertantang mereka serempak menjawab, “Siap Kak!”

Sejak itu latihan formasi pun dimulai. Waktunya hanya 2 kali latihan di sekolah, dan 1 kali latihan di lokasi. Kakak-kakak SMP berembug untuk membuat satu formasi yang sekiranya bisa dilakukan oleh anak-anak, formasi yang tidak sulit, tetapi tidak terlalu mudah juga. Dengan waktu yang sangat terbatas serta tidak ada kepastian jumlah teman-teman yang nanti akan hadir pada saat selametan, formasi pun dibuat supaya berapapun jumlah teman-teman, formasinya nanti tetap dapat dilakukan.

Idenya adalah teman-teman berbaris 6 banjar, lalu membuka barisan, hingga membentuk tiga pasukan, di kiri, kanan, dan tengah. Kemudian perwakilan dari setiap pasukan akan maju ke depan, lalu menerima patung Soekarno, Hatta, dan Bendera Merah Putih. Setelah itu melangkah perlahan ke tengah karya kepulauan Indonesia, menempatkan ketiga benda tersebut dan kemudian kembali ke pasukannya. Dan diakhiri dengan menutup formasi barisan, kembali menjadi 6 banjar.

Entah mungkin karena baru pertama kali membuat formasi barisan, teman-teman sangat antusias dan bersungguh-sungguh agar formasi tersebut bisa sukses. Dengan bersama-sama berhitung, mereka mencoba menyamakan langkah, agar bisa rapi dan kompak. Namun apa mau dikata, waktu yang tersedia sangat sempit. Kami berdoa semoga di hari selametan semua bisa berjalan dengan lancar.

Hari Jumat, “In, untuk besok selametan kamu yang pimpin pasukan ya.” “Siap Kak!” Sehari sebelum selametan saya meminta Indira menyiapkan diri, ia menjawab tanpa ragu. Teman-teman sebelumnya mengira saya yang akan memberi aba-aba nanti. Tapi tentunya akan lebih bermakna apabila mereka sendiri yang melaksanakan seluruh rangkaian formasi tersebut.

Sabtu 12 Agustus pun tiba. Satu persatu teman-teman tiba, tapi ternyata hingga siang jumlahnya ganjil, saat latihan 36 orang, dan yang hadir setelah dihitung oleh Kak Danti hanya 27 orang. Wah, harus mengganti formasi. Karena jumlah tersebut tidak cantik apabila dibuat jadi 6 banjar.

Pukul 10:15 kami berkumpul. Hanya ada satu jam untuk berlatih. Merubah formasi, dan sekaligus melakukan gladi.

Teman-teman terlihat tegang. Tapi semua tetap bersemangat, berusaha fokus di bawah komando kakak. Akhirnya kakak memutuskan untuk membuat pasukan menjadi 3 saf, 9 banjar. Nantinya akan ada tiga kelompok kecil terdiri dari 9 orang yang akan membuat formasi. Jadi formasi tetap sama, hanya jumlah orangnya yang berbeda. Semua bekerja keras memastikan agar formasi dapat berjalan. Selain Indira, ada tiga orang perwakilan kelas yang juga memiliki tanggung jawab lebih, yaitu Fauzan membawa patung Soekarno, Feta membawa patung Hatta, dan Alika membawa bendera merah putih. Teman-teman tidak ada yang mengeluh. Semua sudah siap. Enam puluh menit pun habis. Kakak-kakak SMP membagikan dan memasangkan setangan leher/hasduk kepada teman-teman.

“In, ini setangan leher saya, yang selalu menemani saya berkegiatan di kepramukaan.” Sambil saya kalungkan ke lehernya.

11:15 kami berkumpul di lapangan utama. Kak Andy meminta semua orangtua dan teman-teman jenjang kecil untuk berkumpul, tanda upacara penutupan akan segera dimulai.

“Fauzan sebagai penjuru!” Indira memberi aba-aba.

“Siap, Fauzan sebagai penjuru!” Fauzan menyahut.

“Tiga bersaf kumpul, mulai!

“Jalan di tempat, gerak!”

“Buka formasi, jalan!” Indira berturut-turut memberikan aba-aba.

Dan teman-teman pun berhasil membuka formasi dengan lancar. Hasil latihan selama ini diperlihatkan oleh teman-teman.

“Henti, gerak!”

Fauzan, Alika, dan Feta, berjalan ke depan untuk menerima patung Soekarno, Hatta, dan Bendera Merah Putih.

“Kepada Bendera Merah Putih, hormat gerak!”

Suara lantang Indira menandai Bendera Merah Putih akan dibawa berjalan menuju tengah lapangan. Diiringi lagu Bagimu Negeri, patung Soekarno, Hatta, dan Bendera Merah Putih akhirnya menempati posisinya tepat di tengah-tengah kepulauan nusantara.

Upacara pun dilanjutkan dengan berdoa dan ditutup dengan menyanyikan lagu Indonesia Pusaka, upacara pun selesai.

“Tutup formasi jalan!”

Teman-teman dengan sigap kembali membentuk barisan 3 bersaf.

Indira lalu berjalan ke tengah pasukan, “Bubar jalan!”

Setelah hormat, semua pun balik kanan, lalu berteriak, “SMIPA!”

Dan rasa haru pun meluap-luap. Tidak menyangka mereka bisa menuntaskan tugas tersebut.


Teman-teman, teruslah raih mimpi-mimpimu, tapi tetaplah ingat tanah airmu. Jagalah bumi Indonesia.

“Disanalah aku berdiri
Jadi Pandu Ibuku...”


Sunday, July 30, 2017

Belajar Investasi

Teknologi dan perkembangan zaman mengantarkan kita pada era konektivitas dan keajaiban-keajaiban yang bisa kita nikmati saat ini. Salah satunya adalah berbagai bentuk investasi jangka panjang yang kini bisa diakses dan terjangkau untuk siapa pun.

Dulu waktu tahun 90-an, jika ingin investasi kita harus mempunyai modal yang tidak sedikit, minimal 25 juta untuk bisa mulai berinvestasi. Sebelumnya perlu dipahami dulu, bahwa investasi ini penting dilakukan sedini mungkin. Jangan seperti saya yang malah berfoya-foya, sehingga lebih sering besar pasak daripada tiang.

Tidak semua orang sama dalam mengatur keuangan pribadi/rumah tangganya. Namun, prinsipnya selalu sama, jika ingin pensiun nyaman kelak, maka kita harus bisa mengatur supaya pemasukan lebih besar daripada pengeluaran. Dari pemasukan tersebut ada yang bisa menyisihkan 10%, 30%, atau mungkin lebih untuk menabung dan berinvestasi. Tidak masalah walau pendapatanmu kurang dari 5 juta rupiah per bulan, yang penting kemauan untuk menyisihkan sebagian dari pemasukan tesebut. Karena, saat ini mungkin usianya masih 20 tahun, tapi tidak akan terasa tiba-tiba usianya sudah 30 tahun, terus 40 tahun, terus akhirnya menyesal seperti saya yang selalu saja gagal menabung/berinvestasi.

Nah, investasi sendiri tentunya ada berbagai macam, kali ini saya akan berbagi mengenai jenis-jenis investasi yang liquid (mudah dicairkan kapan saja), dan murah, tapi memiliki tingkat pertumbuhan yang cukup lumayan secara jangka panjang.



Yang pertama dan yang paling murah adalah investasi emas dari PT Pegadaian. Saat ini Pegadaian memiliki produk investasi emas yang sangat menarik. Mengapa emas? Karena emas itu nilainya stabil, walau kena krisis moneter sekalipun. Walau harganya naik-turun, tetapi secara jangka panjang nilainya cenderung selalu naik. Perlu diingat, investasi emas ini baru terasa nilainya jika sudah tiga tahun lebih.

Produknya sendiri ada dua macam, yaitu tabungan emas dan kredit emas. Saya akan bahas secara ringkas satu persatu. Tabungan emas bentuknya seperti kita menabung di bank, jadi kita diberikan buku tabungan lalu bisa setor dan melakukan penarikan, serta transfer. Akan tetapi yang membedakannya adalah saldo di buku tabungan kita itu nominalnya dalam gram emas.

Investasi awal yang diperlukan hanya senilai 0,01 gram emas saja (atau saat ini sekitar Rp 5.600). Minggu lalu saya coba datangi kantor Pegadaian dekat rumah saya. Pelayanannya ramah dan cepat (saya sarankan untuk membuka rekening tabungan emas ini di kantor cabang yang cukup besar), tidak sampai 30 menit, hanya dengan Rp 100.000 saya sudah dapat buku tabungan emas tersebut dengan saldo 0,09 gram emas. Rinciannya sebagai berikut:

Biaya pembukaan rekening Rp 10.000
Biaya materai Rp 6.000
Biaya administrasi untuk satu tahun Rp 30.000
Sisa Rp 54.000 dibelikan emas setara 0,096 gram emas

Selesai deh! Jika nanti ada uang lagi dan ingin ditabungkan, akan dikonversikan sesuai harga emas saat itu. Sangat mudah, cepat, dan juga aman.

Apakah ada biaya-biaya lain? Menurut informasi dari customer service-nya, ada emas yang harus mengendap senilai 0,1 gram di tabungan emas tersebut. Kita boleh menarik dalam bentuk uang minimal senilai 5 gram (sesuai harga beli PT Pegadaian), dengan saldo emas di buku tabungan kita terdapat 5,1 gram. Lalu kita pun bisa mencetak emas yang kita miliki, ini pun sama minimal 5 gram, nah untuk biaya cetak emasnya ini cukup mahal. Harga cetak emas UBS Rp 87.000 untuk 5 gram.

Lalu yang satunya lagi adalah kredit emas. Produk ini memudahkan kita untuk memiliki logam mulia dari mulai 5 gram hingga 1 kg. Buat rekan-rekan yang mampu menyisihkan dana secara tetap, kredit emas ini bisa menjadi pilihan investasi. Di website PT Pegadaian, terdapat simulasi kredit emas ini untuk memudahkan kita memperhitungkan berapa dana yang harus kita sisihkan untuk mendapatkan keping logam mulia yang kita inginkan.
Misal kita ingin memiliki 1 keping logam mulia 10 gram, dicicil selama 12 bulan. Dari hasil simulasi didapatkan:

Total Harga Mulia: Rp 5.591.000
Total Margin: Rp 646.166
Harga Penjualan: Rp 6.237.166
Uang Muka di Bayar *): Rp 1.118.200
Jumlah Pembiayaan: Rp 5.118.966
Angsuran per Bulan: Rp 426.581
*) uang muka ini senilai 20%, bisa jadi 10% apabila dibeli secara kolektif/arisan minimal 6 orang.

Perlu diperhatikan sekali lagi, emas ini pertumbuhannya kecil namun stabil. Saya ingat dulu tahun 2011, harga 1 gram emas itu sekitar Rp 500.000, kini 2017, nilainya Rp 590.000. Hanya bertumbuh 18% saja.

Investasi berikutnya adalah deposito bank. Dulu jika kita ingin buka deposito di bank, kita perlu modal awal puluhan juta rupiah. Kini, hanya dengan modal satu juta rupiah saja, kita sudah bisa memiliki rekening deposito.

Beberapa bank yang memiliki produk tersebut diantaranya, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, BRI, Mandiri, BTN, Danamon, dll. Tampaknya semakin banyak bank yang membuat produk yang serupa.

Walau pertumbuhannya rata-rata 5% - 9% saja per tahun, akan tetapi deposito tetap menjadi pilihan yang diminati, karena resiko sangat kecil dan dapat memiliki kepastian pendapatan setiap bulanannya, sesuai nilai uang yang didepositokan. Secara simpelnya, dengan pertumbuhan 5% per tahun maka dalam waktu kurang lebih 14,5 tahun dana kita akan menjadi dua kali lipat dari pokok awalnya. Jika tiap tahun kita tambahkan sejumlah dana lagi ke pokok awal, maka waktu yang dibutuhkan akan jauh lebih singkat. Itulah sebabnya, ada pepatah yang mengatakan keajaiban dunia yang ke delapan adalah bunga berbunga.

Contoh simulasi:
Dana pokok: Rp 1.000.000
Dana tambahan per tahun: Rp 100.000
Bunga per tahun: 5%
Maka dalam waktu 6 tahun, uang kita akan senilai Rp 2.000.000 kurang lebih.

Yang terakhir adalah investasi reksadana. Dulu investasi reksadana perlu modal awal minimal Rp 25 juta. Kini, hanya dengan modal Rp 100.000 - Rp 1.000.000 saja kita bisa memiliki investasi reksadana. Bahkan kini saat pembukaan rekening awal di sekuritas, kita bisa bebas memilih untuk menginvestasikan dana kita ke dalam jual beli saham, reksadana, atau ETF.

Produk reksadana ini semakin populer dengan maraknya perusahaan-perusahaan asuransi yang mengeluarkan berbagai program unit link. Perbedaannya tentu saja, dalam investasi reksadana kita tidak perlu mengeluarkan biaya premi rutin. Bahkan di Indonesia reksadana ini adalah investasi yang bebas pajak. Jadi cukup buka rekening satu kali, pilih reksadana yang sesuai, lalu tinggalkan. Jika ada dana lebih tambahkan, jika tidak ada pun tidak apa-apa. Dibandingkan investasi-investasi yang saya paparkan sebelumnya, reksadana ini memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, namun masih relatif aman, selama kondisi perekonomian lokal dan dunia stabil.

Kita pun bisa melihat dan mengevaluasi kinerja berbagai reksadana yang ada di pasar saat ini. Walau kesannya intimidatif, namun dengan banyak bertanya maka istilah-istilah rumit tersebut akan menjadi mudah.

Reksadana sendiri atau mutual fund, adalah produk sekuritas yang memudahkan kita untuk berinvestasi dalam pasar modal tanpa kita sendiri terjun di dalamnya. Dengan modal bersama, kita mempercayakan investasi kita kepada manajer investasi untuk mengoptimalkan pertumbuhan dana kita selama waktu yang kita inginkan. Tidak ada batasan waktu seperti halnya deposito, kita bisa bisa membeli dan menjual unit reksadana kapan saja kita mau. Namun, untuk pertumbuhan optimal idealnya kita simpan minimal selama satu tahun. Rata-rata pertumbuhan produk reksadana itu 10% per tahun. Nilai ini tergantung produk yang kita pilih, bisa lebih tinggi dan bisa lebih rendah.

Perlu diingat prinsip high risk - high return. Karena tujuan kita berinvestasi adalah untuk dana pensiun dan masa depan, selalulah berhati-hati saat memilih produk investasi. Jangan mudah tergiur return tinggi, jika ada yang menjanjikan return diatas 15% per tahun, kita perlu waspada. Lalu, jangan juga kita menyimpan semua dana kita ke dalam satu jenis investasi. Pilihlah 3-4 jenis investasi untuk diversifikasi, dan saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kita tidak akan kerepotan.

Selamat berinvestasi!

Wednesday, June 21, 2017

Bercermin

Siapakah aku? Mengapa aku ada? Apa tujuanku?

Dari sejak remaja hingga hari ini, aku masih berusaha menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Aku jauh dari sempurna, aku penuh kealpaan. Setiap hari rasanya semakin jauh dari tujuan. Dapatkah aku berhenti dahulu? Melihat kembali, sejauh mana aku tersesat. Sejauh mana aku kehilangan arah.

Tapi berhenti pun butuh waktu. Berhenti pun sama dengan bergerak linear searah waktu. Kalau begitu dapatkah aku menciptakan waktu?

Mungkin saat ini satu-satunya peluangku adalah dengan menggunakan waktu tunggu. Jadi seperti mengerjakan dua hal sekaligus. Seperti membaca buku saat menunggu tiba ke satu tempat di kendaraan. Atau menulis saat menunggu anak-anak berkegiatan.

Aku coba berhenti sejenak. Sambil menunggu kantuk datang.

Untaian ingatan berkelana. Mencari jauh ke masa lalu.

Betapa banyak pilihan-pilihan yang tidak tepat. Dan mengapa banyak kesalahan kerap aku ulangi?

Bukankah aku itu aneh, selalu berkeinginan untuk jadi lebih baik, tapi mengapa terus menunda-nunda berbuat sesuatu?

Ingin menyelesaikan banyak hal, tapi mengapa hanya sebatas ingin saja?

Berharap perubahan datang tiba-tiba, bisakah tanpa berusaha?

Oh, mungkin saja, apa sih yang gak mungkin di dunia ini? Pikirku. Aku berada di antara milyaran manusia di bumi. Berlomba-lomba dalam kehidupan dunia.

Dan aku ternyata tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan orang lain. Dan aku ternyata tidak pula berbuat apa-apa untuk bisa membalas mereka. Seringkali aku menyesal, mengapa begini? Mengapa begitu?

Untuk semua orang yang ada di sekililingku, Bapak, Ibu, keluargaku, teman-teman, guru-guru, kakak-kakak, adik-adik, rasanya selalu saja aku merepotkan. Waktu, tenaga, pikiran, uang. Bagaimana mungkin aku bisa membalas kebaikan semua orang?

Janji tak ditepati, utang tak terbayar.
Waktu terus berjalan, waktu semakin sempit. Untuk semua yang pernah kusakiti, semua utang yang belum terbayar, maafkan aku, lalai dan malu belum bisa menyelesaikannya.

Tapi tidaklah boleh menyerah.
Lagipula kehidupan ini hanya senda gurau saja.

Tapi mungkin itulah penyebabnya. Aku jadi seringkali kurang serius. Kurang menghadirkan diri. Kurang peka. Kurang perhitungan.

Tapi aku juga bisa melihat, perjalananku hingga hari ini, aku haruslah banyak-banyak bersyukur. Semua ternyata bisa dilewati. Karena ternyata Allah selalu melindungi lewat kebaikan orang-orang di sekelilingku.

Jadi jawabannya adalah, aku ini hasil kebaikan. Aku ada untuk berbuat baik. Tujuanku membawa bekal kebaikan di hari akhir nanti. Jadi saat sulit pun tetaplah jadi kebaikan. Demi Allah yang terus-menerus memberi kebaikan lewat orang-orang, lewat bumi dan isinya. Walau aku bergelimang kesalahan, tetaplah berbuat kebaikan.

Semoga orang-orang yang kusayangi dan menyayangiku selalu dalam lindungan Allah Yang Maha Kuasa. Aamiin.

Friday, May 26, 2017

Kok Gak Cukup?

Heran, kenapa seringkali kejadian gak cukup.

Gak cukup bagus, gak cukup banyak, gak cukup sehat, gak cukup uangnya, gak cukup rajin, gak cukup adil, dan yang paling sering kejadian..., gak cukup waktu.

Memang sih pada akhirnya dipasrahkan saja. Kan gak cukup. Ya dipakai secukupnya saja. Tapi kan sayang hasilnya jadi tidak maksimal.

Atau memang begitukah adanya? Akankah selalu tidak cukup?

Berarti, apakah cukup itu relatif?
Apakah tergantung sudut pandang kita?

Ataukah ada standarnya, ada suatu pembandingnya hingga bisa cukup?

Seperti istriku pernah bilang, ia sudah berusaha melakukan semuanya, tapi kenapa orang lain tetap menilai itu tidak cukup?

Seperti halnya gaji bulanan, selalu ada saja kejadian, hingga jadi gak cukup.

Seperti halnya anak sekolahan, sudah belajar mati-matian tapi nilai rapornya gak pernah 100%.

Atau apakah itu terjadi karena prasangka di awal? Atau memang mismanajemen? Atau memang takdirnya begitu?

Ah, itu hanya pikiranku saja. Buktinya sampai sekarang aku masih hidup, masih sehat, masih bisa bekerja, masih bisa belajar, masih bisa makan bareng keluarga. Jadi sebetulnya cukup kan?

Karena memang Allah SWT selalu mencukupkan. Mungkin betul apa yang dikatakan guruku, hidup itu tergantung niat. Karena kebutuhan manusia itu tidak akan pernah ada habisnya. Bahkan seorang ahli ibadah pun selalu merasa ibadahnya tidak pernah cukup. Jadi niatmu apa? Maka usahakan sebaik-baiknya, serahkanlah dan ikhlaskan hasil akhirnya. Sampai akhir hayat.

Semoga hidupku ini bisa mencukupkan kehidupan orang-orang disekitarku. Aamiin.

Selamat menunaikan ibadah puasa kawan!

Sunday, May 21, 2017

Tuhan Mengetuk Pintu


Betapa sarana media sosial saat ini berlaku seperti Tuhan.

Orang-orang berdoa di sana, saling menghakimi di sana, dan saling menyebarkan ayat-ayat dari kitab masing-masing. Berlomba-lomba mencari surga Tuhan di sana.

Adakah memang sekuat itu kebutuhan seseorang untuk diperhatikan orang lain?

Seberapa seringkah kamu menyaksikan hal tersebut?

Berbagai tulisan disampaikan. Tentunya dengan berbagai niatan. Mungkin memang senangnya curhat, senang bercanda, nyindir, berpose, dan lain sebagainya. Apalah hak saya menilai semua itu. Tapi satu dua pengalaman menarik jadi hal yang seru untuk didiskusikan.

Media sosial bisa jadi perantara Tuhan yang paling kekinian. Berita apa pun begitu cepat direspon, sehingga para netizen semakin bersemangat biar statusnya atau status orang lain menjadi viral.

Butuh apa pun hampir pasti ada jawabannya. Mulai dari masalah keuangan, travelling, politik, hingga masalah pasangan hidup. Selalu ramai, dan selalu saja ada hal baru.

Setiap pemimpin, organisasi, dan perusahaan, kini memiliki media sosial. Mereka berusaha seperti Tuhan, dapat menjawab persoalan anggotanya dan pelanggannya dengan cepat dan real-time.

Ada kalanya kekuatan media sosial begitu besar, seperti tangan Tuhan sendiri yang mengetuk pintu rumahmu. Langsung muncul bantuan dari gotong royong para netizen. Luar biasa!

Kini kita bisa melihat karakter seseorang dari profil media sosialnya. Walau bukan gambaran utuh. Tapi cukup. Sehingga strategi apa pun untuk meraih massa, haruslah memanfaatkan media sosial.

Tampaknya tak berapa lama lagi kita bisa update status hanya lewat pikiran. Tak perlu bicara/menulis. Memang wajar kiranya sebagian orang seperti menuhankan teknologi.

Namun sayang semaju apa pun teknologinya jika manusia sebagai penggunanya kurang berpendidikan, maka rusaklah tangan Tuhan.

Bisa kita lihat banyak akun palsu bertebaran. Mungkin karena itu juga ada orang-orang sekarang memiliki banyak akun di satu media sosial. Bisa lebih dari 5 akun per orang. Entah untuk apa saja akun sebanyak itu.

Mungkin karena itu juga Trump menang saat pilpres Amerika. Ilmu media sosial beliau memang dahsyat.

Dakwah pun sekarang lancar lewat media sosial. Tak perlu lagi door to door, tinggal unggah maka seluruh dunia bisa melihat. Mungkin itu kunci kesuksesan ISIS. Cerdik menggunakan media sosial.

Semakin mudah berkolaborasi, semakin mudah juga berkonspirasi.

Semoga kita bisa memanfaatkan media sosial untuk mencerdaskan kehidupan dan membangun peradaban. Bukan untuk memecah belah dan saling menghakimi.

Tuesday, May 2, 2017

Membandingkan Zaman

Untuk adik-adikku yang kini tengah menjalani akhir tahun pelajaran di sekolah.

Ada yang selalu membanding-bandingkan antara generasi dahulu dan generasi sekarang, terutama melihat daya juang dan daya eksplorasi anak-anak jaman dulu dan jaman sekarang.

Banyak yang bilang, anak-anak sekarang mah payah, mudah menyerah, contoh: dikasih PR sedikit dibilang banyak, apalagi kalau dikasih banyak. Gak tahu jalan-jalan di daerah rumahnya sendiri, padahal sering jalan-jalan ke luar kota bahkan ke luar negri. Seneng pake barang luar negri dibanding produk-produk Indonesia. Kurang sopan. Temennya sedikit, banyakan virtual. Dan sebagainya. Benarkah demikian?

Saya yang dulu pernah seusiamu pun merasakan hal yang sama. Dibanding-bandingkan.

Bagaimana tidak, karena generasi bapak saya sewaktu sekolah dasarnya sempat belajar menggunakan sabak. Sebuah papan tulis kapur kecil. Jadi orang-orang jaman dulu sekolah tuh tidak bawa catatan, hanya bawa sabak. Mereka mencatat di papan tersebut, lalu setelah penuh, baca lagi sebentar, lalu dihapus. Sekolah hanya mengandalkan ingatan. Tidak ada buku catatan, apalagi Mbah Google atau Wikipedia.

Lalu kemana-mana jalan kaki, atau paling banter pakai sepeda. Ngabring sama teman-teman satu kampung. Jadi pastinya satu kampung kenal semua anaknya dan keluarganya.

Sementara saya mah belajar sudah ada buku tulis untuk mencatat, ada banyak buku di perpustakaan, dan sudah ada televisi walau cuma ada channel tvri dan rcti. Masuk tahun 90an mulai marak video games, jadi anak-anak mulai lebih sering di rumah daripada main keluar.

Jadi apakah benar daya juang dan daya eksplorasi kita menurun?

Menurut salah seorang guru saya, tidak. Karena zaman terus berubah, teknologi semakin maju, dunia semakin padat penduduknya. Yang benar itu TANTANGANNYA BERBEDA.

Saat ini begitu mudahnya kita kalau mau mencari informasi tentang apa pun. Lewat ponsel semua bisa dilakukan. Bayangkan berapa juta informasi masuk ke ponselmu setiap hari?

Coba cek tv mu saat ini ada berapa channel? Belum ditambah channel dari tv kabel.

Saat ini mau makan itu gampang banget, tinggal seduh jadi. Itu pun air panasnya lewat dispenser, gak perlu masak air dahulu.

Apalagi bermain games. Ada konsol klasik macam Nintendo snes, sampai VR game sekarang ada. Mau game apa? Tinggal unduh saja.

Mau belajar juga gak perlu repot-repot. Tinggal Googling, masuk Wikipedia, atau nonton YouTube, ada semua. Luar biasa!

Lalu tantangannya dimana?

Dapatkah kamu bayangkan, dengan begitu cepatnya teknologi, apakah ada pekerjaan yang aman kelak? Aman dalam artian tidak akan digantikan oleh teknologi.

Dengan masuknya zaman globalisasi otomatis persaingan makin ketat. Dapatkah kamu kelak bersaing dengan anak-anak dari Tiongkok, Jepang, India, Malaysia, Arab, Amerika, Afrika, dan Eropa?

"Ah, nanti mah jadi supir ojek/taksi online aja.." Pernahkah kamu mencoba seharian naik kendaraan di jalanan sekarang? Macet dan panas, belum penumpang yang nyebelin. Terus penghasilan mu berapa kalau semua orang cita-citanya sama jadi supir juga? Belum lagi kalau mobil otomatis sudah banyak dan murah. Supir gak akan dibutuhkan lagi.

"Ah, jadi artis/seniman aja.." Ini lebih menarik, karena perbandingannya hanya 1 dari sejuta yang bisa betulan jadi artis dan berpenghasilan memadai. Kalau bukan karena kerja keras dan karunia Tuhan gak akan berhasil.

Pekerjaan apa pun tidak ada yang aman. Apakah kamu memperhatikan, sekarang semua orang tuh serba terburu-buru. Pesen online harus sekarang juga sampai. Kalau chat harus sekarang juga dibalas. Kalau upload foto harus sekarang juga di-like. Kalau pesen makanan, harus sekarang juga masak. Kalau tidak bisa memenuhi permintaan pelanggan maka langsung tutup bisnisnya.

Terus lagi biaya sekolah sekarang mahalnya setinggi langit, abis gitu udah mahal-mahal hasilnya belum tentu kamu sukses. Buat apa sekolah kalau gitu?

Jadi sekali lagi tantangannya berbeda.

Tapi ada yang sama, sejak jaman batu ada yang selalu dilakukan oleh manusia hingga bisa bertahan hingga nanti akhir jaman.

Hal-hal yang sama tersebut adalah kemampuan-kemampuan dasar/life-skill yang semestinya dimiliki semua orang. Yaitu: Kemampuan bertanya, jika orang-orang jaman batu itu tidak suka bertanya/mempertanyakan sesuatu. Gak mungkin mereka berhenti jadi bangsa nomaden. Gak mungkin menetap kemudian bercocok tanam. Gak mungkin ada teknologi canggih seperti sekarang. Semua karena bertanya, what if...

Lalu kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi. Jelas tidak ada yang bisa dicapai kalau kerja sendirian. Semua pemimpin dunia, selebritis, dan pengusaha sukses, tidak akan ada tanpa kemampuan bicara, meraih kepercayaan, bernegosiasi, juga bekerja sama dalam tim, memimpin dan dipimpin. Bohong besar kalau ada yang bilang, aku sukses karena usahaku sendiri.

Terakhir adalah kemampuan berkreasi dan berinovasi. Hanya manusialah yang diberi karunia memiliki otak canggih luar biasa. Walau kadang hasil inovasinya tersebut merusak seperti senjata perang dan macam pabrik-pabrik yang berpolusi, tapi tanpa daya kreasi manusia sama saja dengan mati.

Jadi sekarang kamu bisa memilih, terus mengeluh dengan kondisimu saat ini, membiarkan rasa malas mengambil alih hidupmu. Atau bangun, mencoba menggapai mimpi-mimpimu. Membahagiakan dirimu dan keluargamu.

Walau sekarang semua serba instan. Sayangnya tidak ada kesuksesan instan. Kalaupun ada tidak akan bertahan lama suksesnya.

Akhir kata.. Selamat berjuang kawan!

#HariPendidikanNasional

Saturday, March 25, 2017

Satu Tanah Air

Hari ini saya bertemu dengan orang-orang hebat. Mereka berbagi tentang betapa indahnya keragaman. Muncul pernyataan yang menurut saya menarik, di Indonesia ini ternyata yang namanya tanah air bisa dibilang masih berupa konsep yang belum mengakar secara budaya. Berulang kali kita mendengar cerita betapa kayanya Indonesia, alamnya, budayanya, memperlihatkan keanekaragaman yang tak ada tandingannya. Akan tetapi pernyataan tersebut selalu diakhiri dengan tidak adanya kepedulian, kurangnya perhatian pemerintah, atau minimnya pengetahuan akan tempat tersebut. Semacam satu tanah air itu tidak menyatu dalam diri kita.

Hal tersebut memunculkan pertanyaan berikutnya, apakah yang bisa kita perbuat? Karena ternyata beda sekali konsep yang dipahami oleh orang-orang Indonesia mengenai tanah air itu sendiri.

Tidak perlulah jauh-jauh melihat ke pulau-pulau terluar Indonesia, saat di kelas sekolah pun kita bisa melihat keberagaman itu terjadi. Hal seperti perbedaan kemampuan, latar belakang keluarga, hingga kebiasaan sehari-hari dan agama. Konsep satu tanah air ternyata tidak cukup hanya diajarkan melalui pelajaran pendidikan kewarganegaraan, sejarah, atau upacara bendera setiap minggunya.

Atau mungkin kita memang tidak layak menjadi satu tanah air? Lebih memilih hidup dengan yang sepaham saja. Meninggalkan keberagaman.

Saya sampai tidak bisa berkata-kata, saat di internet melihat ada yang berkomentar, kalau agamamu itu agama perdamaian mengapa sepertinya ingin sekali menguasai dunia? Menjadikan dunia ini seluruhnya masuk agamamu saja. Segala cara dilakukan, bahkan negaranya sendiri dihancurkan. Mengapa? Saya tidak paham hal-hal menguasai dunia, tapi saya akui memang sulit mengelak dari pemikiran atau sudut pandang tersebut.

Jika memang demikian adanya, kita perlu berkaca, mengingat kembali, adakah kita sewaktu hendak dilahirkan bisa memilih? Memilih lahir jadi berkulit putih, jadi kuning, jadi hitam, atau lahir di keluarga muslim, di keluarga nasrani, atau keluarga dengan aliran kepercayaan?

Satu tanah air haruslah dimulai dengan keterbukaan kita akan keberagaman. Miris saat melihat ternyata yang peduli terhadap kondisi budaya dan pulau-pulau Indonesia malah warga negara asing. Lucunya saat budaya atau pulau kita yang terabaikan tersebut punah atau diambil negara lain barulah kita ribut-ribut. Mengapa demikian? Tampaknya kita masih sibuk dengan urusan perut saja.

Semoga setelah urusan perut selesai kita bisa duduk bersama, berdiskusi, apa itu tanah air...

"Di sana tempat lahir Beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata"

Saturday, March 18, 2017

Jadi Untuk Apa Sekolah?

Sebuah diskusi pagi menghangatkan cuaca dingin akibat hujan deras. Pertanyaan menarik muncul karena sekolah sebagai sarana pendidikan adalah sebuah institusi yang sejak zaman baheula hingga saat ini tidak banyak mengalami perubahan.

Dari dulu yang namanya sekolah ya duduk di kursi sambil nyatet dan dengerin guru ceramah di depan kelas.

Walaupun sekarang muncul banyak sekolah-sekolah alternatif tapi belum cukup menjawab kebutuhan dunia di zaman teknologi seperti saat ini.

Yang menarik lagi adalah sekolah yang bagus itu mahal. Pada akhirnya hanya mereka yang memiliki akses saja yang bisa menikmati pendidikan yang baik.

Di sisi lain terlihat anak-anak terpenjara oleh sekolah. Mereka dituntut untuk bisa menyelesaikan berbagai ujian demi selembar ijazah yang belum tentu berguna. Lagi-lagi hanya yang bermodal saja yang dapat memastikan anak-anaknya memiliki masa depan yang lebih pasti. Karena pendidikan tinggi itu lebih mahal lagi.

Bagi para masyarakat menengah ke bawah, kuliah itu laksana mukjizat. Tapi ikut kuliah pun tidak menjamin kehidupan yang lebih baik. Bayangkan setelah sekolah dari TK hingga S1 kurang lebih 18 tahunan, mereka harus terjebak dengan pekerjaan yang belum tentu jadi minat mereka. Karena ya mau bagaimana lagi, faktor ekonomi dan kebutuhan keluarga harus didahulukan.

Melihat kondisi saat ini, dunia dimana teknologi jadi raja, maka tidak ada satupun profesi yang bisa dibilang aman 100%.

Contohnya: dulu teknologi pengenalan wajah adalah hal yang dikatakan tidak mungkin, tapi kini teknologi deteksi wajah sudah jadi hal yang lumrah dan semakin baik akurasinya. Kendaraan tanpa supir kini mulai muncul. Lalu sudah ada toko swalayan yang tidak ada kasir, semua serba otomatis, masuk, bawa belanjaan, keluar, selesai. Teknologi dan kecerdasan buatan kini semakin mampu menyaingi manusia. Uangpun mulai berubah tatanannya dengan munculnya bitcoin (mata uang digital). Bidang seni juga tak luput dari ancaman teknologi, kini kecerdasan buatan mulai mampu membuat karya seni yang tidak kalah estetis. Saat semua teknologi tersebut jadi massal dan murah, maka tidak terbayangkan bagaimana dampaknya terhadap manusia. Profesi guru pun terancam, karena sebetulnya bisa dibilang mau belajar apa pun saat ini asalkan ada koneksi internet pasti bisa. Sekolah-sekolah konvensional akan tidak berlaku. Akan banyak orang-orang menjadi pengangguran, bukan karena mereka tidak punya keahlian, tapi karena keahlian mereka sudah diambil alih oleh teknologi.

Satu artikel dari World Economic Forum menyatakan, kita kini tengah masuk revolusi industri berikutnya, ditandai dengan masifnya teknologi dan kecerdasan buatan.

Seperti waktu revolusi industri dulu, kini revolusi teknologi datang dengan lebih dahsyat, berlaku eksponensial dan dunia pendidikan terlambat mengikutinya. Pendidikan saat ini masih berkutat dengan hapalan dan struktur rigid, yang mana jika hal tersebut tidak diubah sudah pasti manusia akan kalah oleh teknologi.

Tidak akan lama lagi, pabrik-pabrik akan menggantikan manusia dengan mesin. Maka dunia pendidikan kudu berevolusi. Fokus mesti ditekankan pada kemampuan berkolaborasi, berkomunikasi, negosiasi, berpikir kritis, kreatif, menyelesaikan persoalan dan kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi yang begitu cepat.

Nah, jika hal-hal tersebut tidak dapat teratasi, untuk apa sekolah? Apakah hanya untuk dapat ijazah? Itu pun belum tentu berguna karena persaingan akan semakin ketat dan berlaku global.

Apakah anak-anak kita kelak bisa bersaing dengan warga seluruh dunia? Apakah mereka bisa bersaing dengan teknologi dan kecerdasan buatan?

Tentunya tidak masuk akal jika semua persoalan dibebankan ke sekolah. Pendidikan harus jadi tanggung jawab semua pihak.

Kita tak bisa mundur lagi. Karena masa depan itu sudah datang sekarang.

Saturday, January 21, 2017

Mengikuti Sang Angin

2011. Adalah awal mula situasi saat ini. Saat itu banjir besar merusak kantor Bapak saya di Bekasi. Kantor yang baru berdiri langsung tutup, karena semua aset seperti komputer dan barang-barang lainnya rusak terendam banjir.

Masalah muncul karena Bapak menggadaikan rumah untuk usahanya tersebut. Jadi mulailah berdatangan orang bank menagih cicilan sementara Bapak sudah pensiun, sehingga tak ada lagi sumber pendapatan.

Satu persatu aset Bapak habis. Tapi saya takjub dengan kemampuan Bapak menghadapi berbagai persoalan lanjutannya. Juli tahun 2011 saya menikah, dan saya ingat Bapak menyumbang banyak untuk membantu saya. Lalu tak lama tahun 2012-2013 dua adik perempuan saya juga menikah. Entah bagaimana caranya Bapak bisa menyelenggarakan hajatan berturut-turut waktu itu.

Tahun 2013 Bapak dan Ibu tiri saya berangkat haji. Ibu saya tidak ikut karena Ibu tengah sakit. Dahsyatnya ketika itu Ibu merelakan uang tabungan hajinya untuk bayar cicilan utang.

Tahun 2014 sungguh mukjizat bagi saya. Di tengah berbagai persoalan, Shihab lahir dan saya bergabung dengan Semi Palar.

Enam tahun Bapak bertahan, dengan dibantu keluarga besar tentu saja. Selama itu tidak pernah satu kali pun saya melihat Bapak menyalahkan orang lain atas kondisinya saat ini.

Tahun 2016 jadi penentu banyak hal. Saat Bapak sudah habis-habisan, Ibu sakit dan harus masuk RS selama satu bulan. Kemudian akhirnya setelah perjalanan yang melelahkan Bapak harus merelakan rumah dilelang.

Saya perlu menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga, karena saya kurang bisa fokus dan tidak solutif. Bawaannya terus bersedih karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu orangtua. Mulai bulan ini insya Allah saya bisa fokus dan bekerja lebih optimal.

Sejujurnya saya katakan cerita ini belum ada apa-apanya dibandingkan perjuangan orang lain. Saya yakin setiap keluarga memiliki cerita perjuangannya masing-masing. Pada kesempatan ini ijinkan saya mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya untuk Bapak dan Ibu terkasih, yang selalu memberi inspirasi. Adik-adikku tersayang Lita-Iki, Niar-Hermis, dan spesial untuk Agni dan Gian, yang tidak pernah tidak, selalu mementingkan keluarga dibanding dirinya sendiri. Hampura Aa teu bisa mantuan nanaon.

Terakhir saya ingat pesan Bapak, hidup memang begini, kadang naik kadang turun. "Urang kudu bisa ngagilekna." Kita mesti pandai menyiasatinya, agar tetap bisa bertahan... Seperti angin.

Wednesday, January 18, 2017

Malam Ketiga

Malam ini malam ketiga anakku demam. Demam karena flu tampaknya. Semoga bukan demam berdarah atau tipus. Sepulangnya aku dari tempat kerja, istriku bertanya, "Abah, ada uang buat beli obat demam?" Sayang di sakuku hanya tinggal 15 ribu saja. Terpaksa istriku cari pinjaman. Dapatlah 50 ribu. Berjalan kaki aku menuju apotek dekat rumah. Letak apoteknya di pinggir jalan utama.

Aku jadi teringat banyak hal, betapa hidup selalu berhasil memberi kita beribu-ribu kejutan. Setidaknya begitu yang kutahu. Dari mulai hampir drop out saat kuliah, ibu yang sering kambuh sakitnya, usaha bangkrut, pernikahan, hingga menyaksikan kelahiran dan kematian.

Awal tahun ini juga, akhirnya Bapakku menyerah. Rumah yang diusahakan untuk terus dipertahankan akhirnya dijual. Rumah pertama Bapak, dari 35 tahun yang lalu. Harga jualnya tidak sesuai pasaran tentu saja, tapi karena sudah tak sanggup lagi membayar utang akhirnya Bapak relakan. Bapak bilang, baru kali ini merasakan cobaan yang begitu berat. Di masa pensiunnya, Bapak tidak bisa bersantai, malah dililit persoalan-persoalan yang konyolnya aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelesaikannya.

Jumat besok Bapak akan pindah ke rumah kontrakan. Aku baru saja dapat kabar alamat kontrakannya. Sembari membeli obat, rasanya sedih tak tertahankan. Coba aku punya rumah sendiri. Pasti aku bisa bantu orangtuaku.

Dan saat keluar apotek, aku melihat di seberang jalan, seorang ibu beserta 4 anak-anaknya sedang duduk-duduk di pinggir jalan. Satu anak ia gendong memakai kain, di sampingnya ada gerobak kecil kosong, tampaknya ia gunakan untuk mengangkut anak-anaknya dan sekaligus jadi rumah mereka.

Orang-orang disana berlaku seperti aku, hanya melewati mereka tanpa ada yang berusaha membantu. Aku jadi ingat, sebelumnya rasanya aku pun pernah melihat ibu itu beserta anak-anak dan gerobaknya.

Dan aku jadi mengerti, bahwa boleh jadi aku kurang bersyukur. Kurang menghargai waktuku, kurang memberikan usaha terbaikku, kurang memperhatikan orang-orang disekitarku. Kurang menerima keadaanku dan keluarga. Apalah gunanya kesehatanku, ilmuku, jiwaku, jika aku tidak mensyukurinya?

Tapi memang itu masalahnya bukan? Aku sering kali tidak sadar, kalau aku tidak bersyukur.

Saat masuk gang dekat rumah, aku melihat seekor kucing tengah duduk menatap jalan gang tersebut. Entah apa yang ada dipikirannya.

Aku rasa ia ingin menasehatiku, hiduplah seperti kucing, tidak pernah khawatir, hari ini atau besok bisa makan atau tidak. Hidup jalan terus. Karena urusan hidup sudah ada yang mengatur.

Sesampainya di rumah, aku ajak anakku bermain, kupeluk erat dirinya, maafkan bapakmu ini, semoga engkau lekas sembuh.