Tuesday, October 6, 2020

Hari Guru

Saya baru tahu kini ada hari guru dunia. Di sosmed bertebaran meme tentang pentingnya mengapresiasi peran seorang guru. Salah satu posting di sosmed sampai mengistilahkan peran guru itu esensial, tanpa guru maka profesi-profesi lain di dunia ini tidak akan ada.

Bicara masalah guru dan dunia pendidikan ini tidak akan ada habisnya. Sejujurnya dengan pandemi Covid-19 sekarang ini kita perlu bersyukur jadi banyak angin segar perubahan di dunia pendidikan Indonesia, walaupun kita belum tahu apakah perubahan-perubahan tersebut akan berhasil menembus tekanan-tekanan politik yang ada.

Kemudian saat ini kita melihat dengan pembelajaran jarak jauh, semua orang khususnya orangtua mesti berperan juga jadi guru. Pepatah Afrika lama dibutuhkan satu desa untuk membesarkan seorang anak, seperti membuktikan setiap elemen masyarakat harus berperan dalam membentuk pendidikan anak-anak Indonesia. Peran guru itu memang esensial.

Namun hasil survey singkat saya, sangat-sangat sedikit kalau tidak mau dibilang tidak ada, anak-anak jenjang SMP yang cita-citanya menjadi guru. Saya sendiri pun tidak bercita-cita menjadi guru. Karena jadi guru itu sulit sekali. Mirip-mirip artis idola atau tokoh politik yang harus senantiasa melakukan pencitraan/terlihat baik di depan orang-orang. :) Mengapa ya profesi guru ini kurang diminati? Jangan-jangan ada trauma dari anak-anak sewaktu mereka sekolah dulu. Atau mungkin melihat profesi guru tidak menjamin kehidupan yang baik.

Saya pun bertanya lebih lanjut kepada anak-anak, hasilnya menarik, menurut mereka sangat berat jadi guru itu, apalagi kalau harus mengajar anak-anak macam mereka. Sudut pandang yang reflektif, memang tidak semua orang itu bisa menjadi guru, mesti ada kesadaran serta kemauan yang kuat untuk mau terus belajar hal-hal baru, dan bersabar mendengarkan anak-anak serta orangtua.

Bisa jadi pada masa depan karena tidak ada yang mau jadi guru lagi, anak-anak di didik oleh AI (kecerdasan buatan) lalu ditentukan kompetensinya oleh algoritma, cocok kerja sebagai apa. Tidak akan ada lagi sekolah/universitas, karena semua bisa dilakukan secara online.

Tetapi saya kira pada satu titik semua orang membutuhkan seorang guru/mentor dalam hidupnya. Yang membantu kita menemukan hal-hal penting dalam hidup. Rasanya peran ini sangat sulit bisa digantikan oleh mesin. 

Saya ingat baru setelah Shihab putra saya lahir, saya melihat kebutuhan untuk memahami tumbuh kembang anak, pedagogi, konsep-konsep pendidikan, lalu menyadari betapa mahalnya biaya pendidikan saat ini. :) Dan akhirnya berjodoh dengan Semi Palar, yang kebetulan membutuhkan Kakak SMP. Berbekal pengalaman sebagai pembina pramuka, jadilah hingga kini saya menjadi bagian dari Semi Palar.

Di momen teacher day ini, saya ucapkan tetap semangat kepada sesama rekan pengajar! Tetap optimis selalu ada cara untuk bisa memantik semangat belajar anak-anak. Kepada sesama rekan orangtua terima kasih atas segala upaya dampingannya memastikan anak-anak tetap memiliki nilai-nilai keluarga yang luhur.

Setiap niat dan perbuatan baik kita sekecil apa pun yakinlah pasti berdampak pada kehidupan anak-anak, saat ini dan nanti.


Tuesday, March 31, 2020

Hantu Masa Lalu


"Bah, tolong beliin gas, tadi lagi masak air terus gasnya  habis."
"Sebentar Mbu, ini lagi beresin file dulu."

Hari ini menjelang Maghrib, Ambu minta tolong untuk dibelikan gas. Sudah dari sore hujan turun cukup deras. "Jangan lupa bawa payung." Sejak masa kerja di rumah, rasanya sudah lama sekali saya berjalan kaki ke luar. Mungkin sore ini saya dipaksa untuk sedikit berolahraga.

Sambil membuka payung dan menenteng gas 3 kg kosong, saya jalan menuju warung dekat rumah. Jaraknya dekat hanya 5 menit dari rumah. Banjir pikiran mulai merasuk, hari ini sudah 1500 lebih korban covid-19. Tapi bukan itu yang jadi pikiran, karena tiap hari terus-terusan dibombardir berita wabah covid-19, sangat sulit untuk tidak otomatis memikirkannya. Sesampainya di warung ternyata warungnya tutup. Saya coba mengetuk siapa tahu bapak/ibu yang punya warung masih ada di rumah. "Punten..." Beberapa kali mengetuk, ternyata tidak ada yang menyahut. Azan Maghrib berkumandang. Dan hujan makin deras.

Hari ini mengapa saya merasa takut? Mungkin bawaan lahir saya penakut? Saya coba menghilangkan pikiran tersebut.

Saya putuskan untuk mencari gas di warung lain. Karena hidup di kecamatan terpadat Kota Bandung, yang namanya warung itu selalu bisa kita temui di setiap belokan. Saya coba berjalan ke arah sungai, di sana kata Ambu ada dua warung yang juga jualan gas.

Takut apa? Saya coba mengingat-ngingat. Takut kena covid-19? Rasanya bukan. Walaupun memang ngeri kalau beneran sampai kena. Sejak awal tahun perasaan ini kerap muncul. Kelebatan ingatan terus datang dan pergi.

Sesampainya di warung tepi sungai, ternyata gasnya habis. Saya pergi ke seberang sungai, sama ternyata gasnya juga habis. Lumayan nih, olahraga angkat beban. Hehe. Saya putuskan berkeliling lagi mencari warung yang menjual gas.

Mungkin saya takut menerima kenyataan. Bahwa saya tidak mampu, tidak  becus jadi orang. Saya ingat, satu hari Ambu bilang, "Bah, makanan habis, gak apa-apa sih untuk kita mah, bisa puasa. Tapi untuk anak-anak gimana?" Lalu ingat kala bapak mengirimkan sms minta tolong untuk ditransfer uang untuk beli obat.

Tapi hal itu kan sepele. Orang lain, bahkan lebih susah. Sementara saya dan keluarga alhamdulillah masih sehat. Bahkan saat tersulit pun saya selalu bersyukur selalu ada yang menolong. Allah Swt. selalu baik kepadaku dan keluargaku.

Satu hal yang pasti saya sangat sering melakukan kebodohan. Akibatnya saya jadi banyak utang. Selain utang uang, juga utang janji. Entah bagaimana menebusnya. Ngeri rasanya membayangkan kelak saat meninggal, keluarga malah direpotkan oleh utang-utang saya tersebut.

Kenapa malah jadi banyak mengeluh? Utang saya kan gak seberapa, gak sebesar utang negara.

Setelah berkeliling, saya ternyata sudah kembali ke jalan tempat warung yang pertama, tanpa hasil. Hujan masih deras, payung tak mampu meladeni derasnya hujan. Saya akhirnya mencoba lagi datang ke warung tersebut. Alhamdulillah ternyata warungnya buka. Bapak yang punya warung tadi sepertinya lagi salat, jadi tutup dulu. Sambil memberikan uang untuk bayar gas, saya tersadar, bahwa pikiran-pikiran itu adalah hantu masa lalu. Pikiran-pikiran itu yang membuat saya takut sendiri.

Sambil basah kuyup, tangan kanan memegang payung, dan tangan kiri menenteng gas saya berjalan pulang.

Hantu masa lalu itu memang menakutkan, semakin dipikirkan semakin ia menjadi kenyataan. Ia  akan terus datang dan menghabisi harapan hari ini. Betul tidak ada yang tahu hari esok itu akan seperti apa. Betul juga banyak hal bodoh yang saya lakukan, yang membuat saya dan keluarga seperti sekarang. Tapi masa lalu tidak akan bisa kita ubah.

Semakin dipikir malah semakin tidak ketemu jawabannya. Ya sama lah dengan kasus wabah covid-19 sekarang. Kita ternyata seringkali tidak belajar dari masa lalu. Masa pandemik sudah pernah kita alami, tapi setiap masa pandemik itu muncul, kita selalu tidak siap.

Sejak banyak kabar simpang siur tentang diam di rumah, karantina wilayah, dsb. Malah membuat banyak orang pulang kampung. Karena memang sulit, tinggal di kota besar malah rugi, gak cukup penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari. Daripada kelaparan ya mending pulang kampung. Walaupun resikonya malah jadi pembawa virus covid-19 ke kampung halaman.

Manusia memang makhluk egois. Saya pun sama saja. Dari awal diduga kuat virus ini muncul karena manusia tidak bisa menjaga keseimbangan alam. Kelak jika wabah ini usai, kehidupan akan kembali normal, dan manusia kembali merusak alam. Lupa baru saja kemarin telah terjadi wabah pandemik. Hantu masa lalu, menjelma jadi hantu masa depan.


"The Sound Of Silence"

Hello, darkness, my old friend
I've come to talk with you again
Because a vision softly creeping
Left its seeds while I was sleeping
And the vision that was planted in my brain
Still remains
Within the sound of silence

In restless dreams I walked alone
Narrow streets of cobblestone
'Neath the halo of a streetlamp
I turned my collar to the cold and damp
When my eyes were stabbed by the flash of a neon light
That split the night
And touched the sound of silence

And in the naked light I saw
Ten thousand people, maybe more
People talking without speaking
People hearing without listening
People writing songs that voices never share
No one dared
Disturb the sound of silence

"Fools," said I, "You do not know
Silence like a cancer grows
Hear my words that I might teach you
Take my arms that I might reach you."
But my words like silent raindrops fell
And echoed in the wells of silence

And the people bowed and prayed
To the neon god they made
And the sign flashed out its warning
In the words that it was forming
And the sign said, "The words of the prophets
Are written on the subway walls
And tenement halls
And whispered in the sounds of silence."