Saturday, September 24, 2016

Belahan Jiwa

Hari Senin tanggal 19 hingga Kamis tanggal 29 September, istri saya berangkat ke Bogor bertugas untuk PON, ditugaskan untuk jadi announcer cabang olahraga atletik. Artinya 11 hari saya mesti full bersama putra saya, yang baru berusia dua tahun, 24 jam penuh.

Hari ini persis 6 hari, saya bersama putra saya bekerja sama, berusaha lebih memahami satu sama lain, dan saling mengisi kekosongan tokoh ibu sekaligus istri.

Bersyukur saya bekerja di tempat yang mengijinkan saya membawa putra saya. Tentunya dengan segala pertimbangannya.

Hari Senin, jadi hari paling seru. Tampak berat istriku meninggalkan putranya bersama saya yang seringkali kurang perhatian. Lebih fokus pada yang lain seperti gawai, dibanding dengan anaknya sendiri. Ia jadi sangat khawatir, gimana nanti makannya? Gimana kalau sakit? Gimana nanti tidurnya? Dan seterusnya.

Jadi panik, karena mestinya ia baru berangkat hari Kamis/Jumat bukan Senin. Rencana persiapan pun jadi berantakan.

Ditambah adikku yang bisa bantu, sakit, juga karena PON. Mengurus pembukaannya.

Alhasil dengan nekat saya bawa putra saya ke sekolah. Jalan kaki, naik turun angkot, jalan lewat jembatan penyeberangan, hingga akhirnya tiba di sekolah.

Sejak pamit dengan ibunya, putraku terus menempel seperti perangko. Di tinggal sebentar langsung mencari. Tapi ajaib, siang hari ia bisa tidur, malam juga bisa. Tanpa rewel berlebihan. Padahal biasanya harus dengan air susu ibunya.

Rasa syukur, terus hadir. Bantuan dari sesama kakak, teman-teman di kelas, kakek dan tantenya, meringankan sangat beban ini.

Saya tahu tugas ibu itu berat. Sekarang saya bisa memahami, bagaimana rasanya mengurus anak sendiri, sekaligus mencari nafkah sendiri.

Baru 6 hari, saya sudah mulai flu. Kondisi cuaca juga kurang mendukung. Setiap sore, pulang sekolah, naik angkot menuju stasiun kereta api, sering diiringi hujan deras. Walau sudah bawa jas hujan, tetap saja basah dan lelah, adalah kombinasi yang selalu berhasil membuat flu.

Masih sisa lima hari lagi. Saya masih bisa menghitung sisa hari. Bagaimana dengan mereka yang belahan jiwanya sudah tidak ada? Apa yang di hitung?

Untuk para single parent, ini memang berat, dan efeknya akan selalu muncul pada diri anak. Jangan pernah malu untuk meminta bantuan. Semoga Tuhan selalu melindungi.

Saturday, September 10, 2016

Membalikkan Waktu

Saya sangat tertarik dengan teori time travel, menjelajah waktu, bahwa kita bisa kembali ke masa lalu melalui lubang cacing, bahwa alam semesta itu tidak satu, tapi multiverse. Sangat menakjubkan apabila kita dapat kembali ke masa lalu. Kemudian teori big bang, penciptaan alam semesta, betapa kita hanyalah setitik debu di dalam penciptaan tersebut. Lalu berbagai teori tentang bumi dan manusia, yang tak kalah menakjubkannya.

Begitu banyak misteri, namun begitu sedikit waktu yang dimiliki. Lucunya saat beranjak dewasa, ketertarikan itu sedikit demi sedikit memudar, satu per satu penyesalan datang, karena ternyata kehidupan orang dewasa begitu berbeda dengan bayangan saat masih sekolah dulu.

Buat apa sekolah? Jika ternyata hanya untuk jadi pekerja yang tidak sesuai dengan panggilan jiwanya. Hilanglah keseimbangan antara mind, body, and soul. Setiap hari melakukan aktivitas yang sama yang menjemukan hingga akhirnya segala kemampuan dan kreativitas terpendam dalam-dalam.
Buat apa sekolah? Sekolah hanya jadi tempat menciptakan robot-robot penurut, manusia pekerja, yang bekerja tidak sesuai dengan kemampuan dan passionnya. Manusia penakut, yang dinilai berdasarkan hasil akhir, yang penting dapat nilai bagus tak peduli itu hasil mencontek/menyuap.
Buat apa sekolah? Karena manusia pekerja tidak membutuhkan banyak kreativitas, semua sudah ada SOP-nya, cukup ikuti standar baku yang ada, persis seperti robot. Dan perusahaan akan mendapatkan hasil standar.

Kita butuh mesin waktu, untuk memperbaiki carut-marut pendidikan di negara Indonesia ini. Begitu banyak salah kaprah menyedihkan, yang semestinya bisa diperbaiki dari saat menginjak bangku sekolah.

Setiap anak adalah makhluk unik yang memiliki kemampuan dan passion yang berbeda-beda. Tugas sekolah semestinya menggali itu dan memolesnya hingga seorang anak dapat memaksimalkan dirinya.

Tidak ada sistem pendidikan yang sempurna, tapi kita dapat terus mendekati kesempurnaan itu.
Pengalaman saya di dalam dunia kepramukaan, sejak tahun 1995 hingga sekarang, memperlihatkan permasalahan yang dihadapi anak-anak pada umumnya sama. Tetapi tantangan anak-anak sekarang lebih berat, dan akan semakin berat.

Tantangan utama adalah semakin tipisnya batas-batas informasi di seluruh dunia. Semua begitu terhubung, hingga bahkan anak TK pun sudah mengerti internet. Dulu kasus pornografi dimulai kebanyakan masa SMA, saat ini anak SD pun sudah mulai paham.

Kondisi saat ini membuat anak-anak begitu tertekan dengan banyaknya berita-berita negatif, bagaimana jadinya kalau seorang anak bercita-cita ingin jadi seorang koruptor?

Tidak mungkin kita menutup gencarnya informasi yang datang tersebut. Barangkali di rumah dapat dikendalikan, tetapi siapa yang dapat mengendalikan ketika jauh dari orang tua atau gurunya. Karenanya suatu sistem pendidikan yang menyeluruh harus dibuat agar anak memiliki pemahaman yang dapat menjadi benteng bagi dirinya sendiri dari hal-hal negatif.

Tantangan berikutnya adalah sulitnya orang tua untuk memberi waktu yang cukup untuk anak-anaknya. Orang tua yang berharap hanya pada sekolah untuk membuat anak mereka menjadi anak yang baik budi dan pendidikannya tidak menyadari bahwa pendidikan berawal dari rumah. Peran serta orang tua sangat penting terutama dalam pembentukan karakter anak. Disiplin diri, mandiri, etika, dan kejujuran. Orang tua harus menyadari bahwa sekolah tidak mungkin melakukan semuanya.

Solusi itu dekat.

Walaupun mesin waktu itu belum ada, kita dapat memulai dari hal kecil untuk mempersiapkan anak-anak kita.

Tiga kemampuan dasar yang mutlak harus dikuasai anak agar dapat memaksimalkan potensi dirinya adalah, kemampuan untuk memotivasi diri, sabar, dan bekerja sama dengan orang lain.

Dari sejak dini, tiga hal tersebut bisa diajarkan dengan cara-cara sederhana. Banyak cara untuk melatih anak memiliki kemampuan tersebut. Berikut lima cara yang mudah:

Pertama, ajarkan anak untuk berdoa. Beri pemahaman, tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan. Dengan berdoa, anak belajar bahwa tugas manusia adalah beribadah kepada Tuhan. Dan pada akhirnya kita semua akan kembali kepada-Nya. Dengan memahami esensi berdoa anak tidak akan pernah putus asa, akan selalu mampu memotivasi dirinya.

Kedua, ajarkan anak untuk antri. Dibandingkan pintar matematika, pintar antri itu jauh lebih penting. Dengan budaya antri, anak akan menghargai waktu, juga menghargai orang lain yang tiba lebih dulu.

Ketiga, ajarkan anak untuk membersihkan kamar dan mainannya sendiri. Dengan cara ini anak belajar menghargai diri sendiri sebelum menghargai orang lain. Serta belajar mengorganisir barang-barang miliknya.

Keempat, ajarkan anak untuk menabung. Dengan menabung anak akan lebih mudah memahami pentingnya sabar dan uang.

Dan kelima, ajarkan anak untuk bermain dengan teman-temannya. Bermain bersama teman memaksa anak untuk bekerja sama, bertoleransi, juga mengasah kemampuan memimpin.

Dengan konsisten maka kemampuan dasar anak akan tertanam kuat. 

Berikutnya adalah membangun kemampuan memecahkan masalah. Hal ini bisa mudah dilakukan dengan melatih kemampuan membaca, berbahasa, dan sedikit kemampuan matematis. Setiap masalah pasti ada solusinya. Sekolah diharapkan bisa menjadi rumah belajar bagi setiap anak di Indonesia. Tempat dimana anak berlomba-lomba mencari tahu lebih banyak, memoles dirinya, dan berteman, bukannya tempat yang menakutkan dengan segala macam ujian dan pekerjaan rumahnya.

Yang terakhir, sebagus apapun anak saat sekolah jika anak itu tidak memiliki mental yang tangguh, pasti akan hilang tenggelam dalam keramaian. Pengalaman pribadi dan teman-teman memperlihatkan, sungguh jauh berbeda dunia orang dewasa dengan dunia sekolah. Banyak hal yang tidak diajarkan di sekolah. Ini menjadikan sebuah pertanyaan penting, seperti yang disampaikan di awal tulisan ini, “Buat apa sekolah?”

Karenanya kemampuan akamedis saja tidak cukup. Tidak ada yang dapat meramal masa depan. Tapi kita selalu dapat merencanakannya. Dengan berbekal kemampuan entrepreneur setiap anak akan mampu merencanakan masa depannya sendiri.
Sudah saatnya bangsa ini menjadi yang terdepan di kawasan regional maupun global. Cara terbaik untuk itu adalah dengan memperbaiki sistem pendidikan. Adalah dosa besar, apabila kita biarkan generasi penerus bangsa terpuruk, dan kalah bersaing dengan warga negara asing.

Sebagai penutup, guru saya pernah berkata, “Kita ini bukan superman. Tidak bisa segelintir orang menyelamatkan semua anak-anak. Tapi jika semua pihak bisa bekerja sama. Satu visi menyelamatkan semua anak-anak. Itu mungkin terwujud.”