Tuesday, March 31, 2020

Hantu Masa Lalu


"Bah, tolong beliin gas, tadi lagi masak air terus gasnya  habis."
"Sebentar Mbu, ini lagi beresin file dulu."

Hari ini menjelang Maghrib, Ambu minta tolong untuk dibelikan gas. Sudah dari sore hujan turun cukup deras. "Jangan lupa bawa payung." Sejak masa kerja di rumah, rasanya sudah lama sekali saya berjalan kaki ke luar. Mungkin sore ini saya dipaksa untuk sedikit berolahraga.

Sambil membuka payung dan menenteng gas 3 kg kosong, saya jalan menuju warung dekat rumah. Jaraknya dekat hanya 5 menit dari rumah. Banjir pikiran mulai merasuk, hari ini sudah 1500 lebih korban covid-19. Tapi bukan itu yang jadi pikiran, karena tiap hari terus-terusan dibombardir berita wabah covid-19, sangat sulit untuk tidak otomatis memikirkannya. Sesampainya di warung ternyata warungnya tutup. Saya coba mengetuk siapa tahu bapak/ibu yang punya warung masih ada di rumah. "Punten..." Beberapa kali mengetuk, ternyata tidak ada yang menyahut. Azan Maghrib berkumandang. Dan hujan makin deras.

Hari ini mengapa saya merasa takut? Mungkin bawaan lahir saya penakut? Saya coba menghilangkan pikiran tersebut.

Saya putuskan untuk mencari gas di warung lain. Karena hidup di kecamatan terpadat Kota Bandung, yang namanya warung itu selalu bisa kita temui di setiap belokan. Saya coba berjalan ke arah sungai, di sana kata Ambu ada dua warung yang juga jualan gas.

Takut apa? Saya coba mengingat-ngingat. Takut kena covid-19? Rasanya bukan. Walaupun memang ngeri kalau beneran sampai kena. Sejak awal tahun perasaan ini kerap muncul. Kelebatan ingatan terus datang dan pergi.

Sesampainya di warung tepi sungai, ternyata gasnya habis. Saya pergi ke seberang sungai, sama ternyata gasnya juga habis. Lumayan nih, olahraga angkat beban. Hehe. Saya putuskan berkeliling lagi mencari warung yang menjual gas.

Mungkin saya takut menerima kenyataan. Bahwa saya tidak mampu, tidak  becus jadi orang. Saya ingat, satu hari Ambu bilang, "Bah, makanan habis, gak apa-apa sih untuk kita mah, bisa puasa. Tapi untuk anak-anak gimana?" Lalu ingat kala bapak mengirimkan sms minta tolong untuk ditransfer uang untuk beli obat.

Tapi hal itu kan sepele. Orang lain, bahkan lebih susah. Sementara saya dan keluarga alhamdulillah masih sehat. Bahkan saat tersulit pun saya selalu bersyukur selalu ada yang menolong. Allah Swt. selalu baik kepadaku dan keluargaku.

Satu hal yang pasti saya sangat sering melakukan kebodohan. Akibatnya saya jadi banyak utang. Selain utang uang, juga utang janji. Entah bagaimana menebusnya. Ngeri rasanya membayangkan kelak saat meninggal, keluarga malah direpotkan oleh utang-utang saya tersebut.

Kenapa malah jadi banyak mengeluh? Utang saya kan gak seberapa, gak sebesar utang negara.

Setelah berkeliling, saya ternyata sudah kembali ke jalan tempat warung yang pertama, tanpa hasil. Hujan masih deras, payung tak mampu meladeni derasnya hujan. Saya akhirnya mencoba lagi datang ke warung tersebut. Alhamdulillah ternyata warungnya buka. Bapak yang punya warung tadi sepertinya lagi salat, jadi tutup dulu. Sambil memberikan uang untuk bayar gas, saya tersadar, bahwa pikiran-pikiran itu adalah hantu masa lalu. Pikiran-pikiran itu yang membuat saya takut sendiri.

Sambil basah kuyup, tangan kanan memegang payung, dan tangan kiri menenteng gas saya berjalan pulang.

Hantu masa lalu itu memang menakutkan, semakin dipikirkan semakin ia menjadi kenyataan. Ia  akan terus datang dan menghabisi harapan hari ini. Betul tidak ada yang tahu hari esok itu akan seperti apa. Betul juga banyak hal bodoh yang saya lakukan, yang membuat saya dan keluarga seperti sekarang. Tapi masa lalu tidak akan bisa kita ubah.

Semakin dipikir malah semakin tidak ketemu jawabannya. Ya sama lah dengan kasus wabah covid-19 sekarang. Kita ternyata seringkali tidak belajar dari masa lalu. Masa pandemik sudah pernah kita alami, tapi setiap masa pandemik itu muncul, kita selalu tidak siap.

Sejak banyak kabar simpang siur tentang diam di rumah, karantina wilayah, dsb. Malah membuat banyak orang pulang kampung. Karena memang sulit, tinggal di kota besar malah rugi, gak cukup penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari. Daripada kelaparan ya mending pulang kampung. Walaupun resikonya malah jadi pembawa virus covid-19 ke kampung halaman.

Manusia memang makhluk egois. Saya pun sama saja. Dari awal diduga kuat virus ini muncul karena manusia tidak bisa menjaga keseimbangan alam. Kelak jika wabah ini usai, kehidupan akan kembali normal, dan manusia kembali merusak alam. Lupa baru saja kemarin telah terjadi wabah pandemik. Hantu masa lalu, menjelma jadi hantu masa depan.


"The Sound Of Silence"

Hello, darkness, my old friend
I've come to talk with you again
Because a vision softly creeping
Left its seeds while I was sleeping
And the vision that was planted in my brain
Still remains
Within the sound of silence

In restless dreams I walked alone
Narrow streets of cobblestone
'Neath the halo of a streetlamp
I turned my collar to the cold and damp
When my eyes were stabbed by the flash of a neon light
That split the night
And touched the sound of silence

And in the naked light I saw
Ten thousand people, maybe more
People talking without speaking
People hearing without listening
People writing songs that voices never share
No one dared
Disturb the sound of silence

"Fools," said I, "You do not know
Silence like a cancer grows
Hear my words that I might teach you
Take my arms that I might reach you."
But my words like silent raindrops fell
And echoed in the wells of silence

And the people bowed and prayed
To the neon god they made
And the sign flashed out its warning
In the words that it was forming
And the sign said, "The words of the prophets
Are written on the subway walls
And tenement halls
And whispered in the sounds of silence."