Thursday, January 21, 2021

Mengapa Beberapa Materi Pelajaran Itu Sulit?

Pengalaman saya, karena kita kurang bisa menemukan kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Sehingga saat diberi materi tersebut di kelas seringkali hanya lewat saja. Kalaupun ingat hanya sebentar, besoknya langsung lupa.

Maka bersyukurlah kalian yang mendapat guru-guru galak/tegas yang memberikan banyak kesan saat pembelajaran di kelas. 🙂

Yang paling sulit adalah saat kita bertemu guru yang cuma bahas latihan soal dari buku, atau datang ngasih tugas terus pergi ninggalin kelas. Jadi kita sebagai murid kudu bisa belajar mandiri.

Jangan salah, kemampuan belajar mandiri ini penting, karena saya saja yang sudah lulus kuliah, dan bekerja, geningan tetep we kudu belajar. Selalu ada persoalan baru, yang mengharuskan kita terus belajar sepanjang hayat.

Nah, kita ambil contoh: materi pelajaran pecahan.

Saya ingat pernah berdiskusi dengan teman, “mengapa anak-anak sulit memahami pecahan/desimal?”

Jawabnya, karena di Indonesia kita tidak mengenal mata uang pecahan. Bandingkan dengan negara lain, contohnya negara Amerika, mereka mengenal sen. Dimana 100 sen = 1 dollar. Jadi anak-anak sudah biasa, merasakan sehari-hari kalau 1/2 dollar itu = 100/2 = 50 sen.

Atau 25 sen = 25 : 100 = 1/4 dollar.

Memang secara budaya berbeda. Jadi wajar kalau anak-anak kesulitan. Belum ditambah gurunya yang kadang ‘teu bisaeun’ menjelaskan.

Akhirnya, triknya adalah kamu harus berdiskusi, bisa dengan guru atau teman atau orangtua. Bagaimana supaya dapat menemukan hubungannya, materi-materi pelajaran, dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kalau masalah pecahan, saya kira itung-itungan belanja buah/sayur ke pasar, yang paling dekat dengan kita.

Jika 1 ekor ayam, bisa dijadikan 9 potong. Kita bisa bilang, satu potongnya itu 1/9 ayam.

Nah, kita bikin lebih menarik, 9 potong itu adalah: bagian kepala, dada, punggung, 2 sayap, 2 paha, 2 ceker. Jika berat 1 potong dada = 2 potong bagian yang lain, terus total berat ayam adalah 3 kg. Berapa berat 2 sayap + 1 paha?

Dengan cara seperti itu, materinya jadi lebih ‘nyambung’ sekaligus menantang.


Contoh yang lain nih: materi IPS tentang Sumpah Pemuda. Jika hanya mendengarkan/membaca kisahnya dari buku pelajaran, kita hanya akan dapat sedikit. Tapi kalau berhasil mencari dongeng/cerita khas, kita akan bisa ingat lebih lama. Risetlah sungguh-sungguh, supaya dapat kisah-kisah unik dibalik suatu peristiwa.

Tahukah kamu, bahwa dalam ikrar sumpah pemuda, selain sumpah satu satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, terdapat kalimat tentang kepanduan (kini gerakan pramuka). Lengkapnya adalah: putusan Kongres Pemuda II yang konsepnya ditulis oleh Mohammad Yamin dan disetujui oleh pimpinan rapat, Soegondo, menulis sedikitnya ada lima dasar yang dapat memperkuat persatuan Indonesia, yaitu kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan.

Jangan lupa juga, dengan mempelajari sejarah, kita sebenarnya tengah mempersiapkan masa depan. Seperti kata Bung Karno, JASMERAH, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah.

Memang banyak sih, pelajaran-pelajaran yang cuma dipakai untuk ujian saja. Untuk materi pelajaran tersebut, percayalah, suatu hari nanti pasti ada gunanya. Hehehehehe.



Bagaimana Pendidikan Holistik?

Dengan latar belakang pernah mengikuti Kursus Pembina Pramuka Mahir tingkat Lanjut, saya mengetahui bahwa yang namanya pendidikan itu tidak bisa dikotak-kotakkan. Kalau ingin membentuk regu yang ideal, maka semua aspek harus diperhatikan, dari mulai kecakapan (SKU/SKK) setiap anggota, manajemen regu, kemampuan pembina, hingga support dari orangtua. Gerakan Pramuka dengan prinsip dasar dan metode-metodenya diharapkan bisa secara utuh melahirkan Warga Negara Indonesia yang baik.

Mengutip dari Anggaran Dasar Gerakan Pramuka, pasal 8 dan 9:

Prinsip Dasar Kepramukaan meliputi:

  • iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  • peduli terhadap bangsa dan tanah air, sesama hidup dan alam seisinya;
  • peduli terhadap diri pribadinya; dan
  • taat kepada Kode Kehormatan Pramuka.

Metode Kepramukaan

(1) Metode Kepramukaan adalah metode belajar interaktif dan progresif yang dilaksanakan melalui:

  • pengamalan Kode Kehormatan Pramuka;
  • belajar sambil melakukan;
  • kegiatan berkelompok, bekerjasama, dan berkompetisi;
  • kegiatan yang menarik dan menantang;
  • kegiatan di alam terbuka;
  • kehadiran orang dewasa yang memberikan bimbingan, dorongan, dan dukungan;
  • penghargaan berupa tanda kecakapan; dan
  • satuan terpisah antara putra dan putri;

(2) Dalam menjalankan Metode Kepramukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan Sistem Among dan Kiasan Dasar.

Dari kutipan tersebut, untuk menjalankan proses pembinaan, kata kuncinya ada dalam kalimat terakhir, yaitu Sistem Among. Ya, betul sekali, walaupun Gerakan Pramuka mengambil bentuk dan menginduk kepada organisasi kepanduan dunia, dalam hal ini WOSM (World Organization of the Scout Movement), namun para pembina ternyata wajib menerapkan kearifan lokal hasil pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Ing ngarso sung tulodo; ing madyo mangun karso; tut wuri handayani.

Sebuah konsep pendidikan holistik asli Indonesia. Pendidikan yang mengutamakan hubungan manusia, diatas materi-materi pelajaran. Dan memang betul begitulah adanya, saat kita bisa membangun koneksi yang baik, antara semua pemegang kepentingan, maka kurikulum apa pun bisa dengan optimal diproses oleh peserta didik. Menjadi sia-sia, metode-metode/teknologi canggih, kalau diberikan tanpa koneksi/memanusiakan para pendidik dan peserta didiknya.

Ki Hadjar Dewantara (Gambar: wikimedia.org)

Sudahkah kita menyapa setiap anak yang kita bina/didik?

Sudahkah kita mengusahakan mengenal lebih jauh latar belakang anak-anak kita?

Berapa banyak waktu yang kita luangkan untuk membangun koneksi dibandingkan memberi ceramah tentang materi pelajaran?

Seberapa sering para pendidik kita bekolaborasi?

Di masa depan, pendidikan tidak akan eksklusif jadi milik sekolah. Semua hal akan bisa dipelajari secara online berkat kecanggihan teknologi. Seperti mie instan, mudah dan cepat. Namun dampaknya, kita akan punya anak-anak yang tidak paham proses, tidak tahu cara membangun relasi, tidak bisa bekerja sama, tidak tahu cara mengelola emosi, tidak paham empati dan simpati.

Sayangnya saat ini, semua sibuk standarisasi, sertifikasi, akreditasi, dan asi-asi lainnya. Tapi lupa, sistem pendidikan yang paling bagus pun akan jadi tidak berarti tanpa manusianya. Pendidikannya tinggi, tapi tidak punya hati.

Pendidikan adalah pekerjaan rumah kita bersama. Sudah saatnya para pendidik kembali ke ruhnya. Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberikan dorongan.



Sistem Among

Dalam praktiknya, sistem among perlu diterapkan secara berimbang. Dalam Gerakan Pramuka, sistem among itu dibagi ke dalam tiga golongan usia, yaitu siaga (7-10 tahun), penggalang (11-15 tahun), dan penegak (16-20 tahun). Saya tidak memasukkan golongan pandega, karena menurut saya usia 21 tahun ke atas sudah tidak layak disebut sebagai peserta didik. Sederhananya sistem among dalam Gerakan Pramuka dilukiskan seperti diagram berikut:




Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi teladan), menjadi pondasi bagi setiap golongan. Tanpa keteladanan, pendidikan akan menjadi sia-sia. Namun, di lapangan inilah hal yang paling sulit dijalankan. Bagaimana tidak, semisal ingin mendidik anak menjadi rajin, hadir tepat waktu, tapi kita sebagai pendidik sering absen, datang terlambat, maka pasti ajakan kita supaya anak rajin akan dipandang sebelah mata oleh mereka. Atau jika ingin anak-anak tidak merokok, ya jangan harap berhasil kalau kita sebagai pendidiknya/orangtua memberi teladan suka merokok.

Kemudian dua konsep yang lainnya, dijalankan secara bertahap pada setiap golongan. Untuk golongan siaga, ing madyo mangun karso (di tengah membangun semangat), menjadi bagian yang lebih utama dibandingkan tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan). Karena pada usia siaga, karsa/semanagat/kemauan adalah kata kunci bagi mereka. Kegiatan-kegiatan penuh cerita, nyanyian, gerak, dan permainan, adalah warna kegiatan siaga.

Untuk golongan penggalang, membangun semangat dan memberi dorongan, dijalankan dengan porsi yang kurang lebih sama. Pada usia penggalang, anak-anak tengah merasakan masa puber serta membangun kemampuan nalar mereka. Kegiatan-kegiatan beregu, seperti berkemah yang mengasah kemampuan bersosialisasi dan sekaligus mengasah kemandirian, jadi kunci agar anak-anak dapat melewati fase ini dengan baik.

Untuk golongan penegak, memberi dorongan dari belakang, lebih diutamakan. Anak-anak diharapkan telah memiliki kemampuan memotivasi serta semangat yang cukup dari dalam diri. Kegiatan-kegiatan yang berhubungan langsung dengan masyarakat, seperti kemah bakti atau kegiatan SAR, akan menantang anak-anak untuk memberikan yang terbaik.

Perlu dicatat, Gerakan Pramuka ini murni berbasis usia, jika misalkan seorang anak baru bergabung di usia 12 tahun, walau ia belum pernah ikut kegiatan siaga, maka ia tetap masuk golongan penggalang. Pun demikian jika ternyata ia kesulitan untuk menuntaskan SKU – Syarat Kecakapan Umum (semacam penilaian kemampuan anak), ketika ia menginjak usia 16 tahun, ia otomatis pindah kedalam golongan penegak. Tidak ada istilah tinggal kelas, karena memang tidak ada kelasnya.

Sungguh menarik, bagaimana sistem among ternyata masih relevan dengan kondisi saat ini. Jika kita ingin menciptakan tunas-tunas bangsa yang unggul, maka dalam kesehariannya seorang pendidik wajib mengimplementasikannya dalam kegiatan sehari-hari. Kemajuan teknologi kita perhatikan melipatgandakan tingkat kesulitan mendampingi anak-anak. Sulit fokus, menunda-nunda pekerjaan, dan kesulitan bersosialisasi, adalah beberapa persoalan anak-anak saat ini. Dengan menguatkan sistem among, diharapkan kesulitan-kesulitan tersebut dapat kita atasi.

Pada akhirnya, prinsip-prinsip sistem among hanya akan menjadi pajangan belaka tanpa struktur dan program kerja yang mendukung. Bagaimana supaya bisa diterapkan dalam kegiatan sehari-hari? Kita akan coba bahas di artikel berikutya.

”Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya tidak tergantung pada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.”
Ki Hadjar Dewantara

Tuesday, January 19, 2021

Lelah

Pernahkah kamu bertanya, saat pagi datang, dan kamu terbangun dari tidur, lalu membuka mata, mengapa saya masih diberi kesempatan untuk hidup? Apakah akan ada bedanya saya bangun atau tidur untuk selamanya?

Beberapa hari belakangan ini, pertanyaan itu kerap muncul. Perasaan tidak bermanfaat, seperti hanya membuang-buang waktu saja setiap harinya.

Tampaknya depresi mulai datang menghantui. Mungkin efek dari terus bekerja dari rumah.  

Saya terus berusaha meyakinkan diri, hari ini akan jadi lebih baik. Walaupun di akhir hari, ternyata hasilnya sama saja. Tidak jadi lebih baik.

Mungkin butuh tantangan baru, mungkin karena persoalan-persoalan masa lalu yang tidak tuntas sampai sekarang. 

Sebagai anak yang tertua, ternyata saya tidak bisa membantu apa-apa. Saya hanya bisa bersedih saat melihat ibu dan bapak menangis.

Saya juga masih belum bisa melunasi hutang-hutang saya. Jika bukan karena kebaikan orang-orang, entah bagaimana bisa menghidupi keluarga sendiri.

Satu-satunya hal yang membuat bertahan adalah karena saya percaya hidup ini sesungguhnya hanya senda gurau saja. Tempat bermain hingga waktunya nanti berpulang. Mungkin berat, tapi selalu ada orang lain yang hidupnya lebih berat.

Namun sisi depresinya adalah mengapa orang lain tersebut tampak berhasil keluar dari kesulitan-kesulitannya? Sementara saya selalu gagal.

Jadinya sangat melelahkan, kok seperti tidak bersyukur. Tidak ikhlas menerima takdir.

Hasilnya sulit sekali untuk fokus, inginnya menghindar terus dari kenyataan. Mengalihkan diri dengan scrolling media sosial, dan mengerjakan hal-hal tidak penting lainnya.

Entahlah apa yang sebenarnya harus dilakukan. Hingga pada akhirnya saya jadi sering bertanya, apa yang harus saya lakukan? Mengapa berat untuk bisa berubah? Untuk mengubah nasib, tentunya harus mengubah diri.

Malam ini semoga saya bisa menemukan jawabannya. 

Karena sesungguhnya kita ini manusia hanya penumpang di dunia ini. Dunia ini tidak butuh manusia. Manusialah yang membutuhkan dunia. Kita tidak ada pun tidak apa-apa.


"Apa guna keluh kesah, apa guna keluh kesah...

Pramuka tak pernah bersusah, apa guna keluh kesah..."