Friday, August 25, 2017

Menyambut Matahari

Kehidupan selalu berhasil memberikan berbagai kejutan. Dan seperti biasa, semua itu sangat tergantung bagaimana kita menyikapi kejutan-kejutan tersebut. Kadang terharu, kadang marah, kadang iri, kadang bangga, kadang sedih, kadang bahagia, dan kadang-kadang yang lain.

Hari ini sembilan bulan yang lalu, istriku berkata kalau ia hamil lagi. Terkejut saya merespon, "Aduh...". Saat itu saya menyadari, walau dalam keluarga saya adalah yang tertua dari lima bersaudara, saya tidak pernah habis pikir bagaimana bisa mengurus lebih dari satu orang anak? Begitu banyak tantangannya, moril, materil, finansil, belum lagi saat menyaksikan istri berjuang keras saat proses melahirkan dan pasca melahirkan anak pertama. Setelah besar, tantangannya semakin kompleks, nanti sekolahnya gimana? Temennya gimana? Usahanya gimana? Kawinnya gimana? Dan gimana-gimana lainnya.

Tapi menurut saya pertanyaan terbesarnya adalah, dapatkah saya jadi kepala keluarga yang baik?

Selama sembilan bulan saya membuat berbagai targetan, seperti menabung, belajar tentang kehamilan, agar cukup paham perkembangan dari mulai janin hingga balita. Namun ternyata tidak berhasil. Untuk menyisihkan uang saja sulit sekali, selalu ada kebutuhan mendadak.

Jika dilihat dari sudut tersebut saya cukup gagal jadi kepala keluarga yang baik. Untuk bisa memberikan penghidupan yang layak diperlukan setidaknya penghasilan 2x lipat dari UMR.

Tapi kemudian saya sadari itu semua relatif, saya ingat satu hari saat sedang jalan kaki malam hari sepulang bekerja, saya bertemu lagi dengan keluarga gerobak. Sang ibu mendorong gerobak berisi sampah-sampah plastik dan kertas yang bisa di daur ulang. Empat anak-anaknya, dua yang masih kecil duduk di dalam gerobak, sementara dua yang lebih besar ikut jalan bersama ibunya.

Di satu belokan, tiba-tiba mereka berhenti, di dekatnya ada warung rumah makan, dan pemilik warung dengan baik hati memberi mereka makanan, cukup untuk satu kali makan. Lalu mereka melanjutkan perjalanan.

Bagaimana bisa mereka bertahan hidup? Bagaimana nanti anak-anaknya akan bisa tumbuh dewasa dengan normal? Mengapa orangtuanya malah terus bikin anak?

Rabu dini hari kemarin, istriku tiba-tiba muntah-muntah. Maag akutnya kambuh. Semua makanan keluar, bahkan minum air pun muntah lagi. Rabu pagi langsung kontrol ke dokter. Dan melihat ukuran bayi dalam kandungan dokter bertanya mau dilahirkan malam ini?

Saya langsung ikutan sakit perut. Malam ini? Duitnya sama sekali belum ada. Tapi kalau ditunda lagi, kondisinya mungkin bisa lebih membahayakan. Akhirnya saya putuskan malam ini saja dilahirkan. Urusan uang biarlah berutang ke orangtua dulu.

Siang itu pun istri masuk IGD. Di induksi menggunakan balon supaya bisa cepat menambah bukaan. Shihab ikut gelisah, saat melihat ibunya dipasangi selang oksigen. "Kita berdoa ya supaya Ambu dan dede bayi sehat. Malam ini Abah dan Ambu bakal nginep di rumah sakit. Shihab bobo di rumah sama Aki dan Ateu ya." "Iya Ambu..." Begitu obrolan istri dan anakku sore hari.

Tengah malam harinya, kontraksi datang dua menit sekali, sudah bukaan 9. "Tunggu sampai bukaan 10 ya Bu, ibu harus atur napas, supaya gak kehabisan tenaga, karena bayinya besar." Dan satu kali lagi saya mendampingi istri melahirkan. Tegangnya bukan main, melihat kepala kecil keluar, lalu masuk lagi, beberapa kali hingga akhirnya satu bidan naik ke atas kasur dan bantu mendorong, lalu muncullah seluruh badan, tubuh mungil yang gempal. Hari Kamis pukul 1:22, langsung plong rasanya proses lahiran berjalan lancar, ibu dan bayi selamat. Satu nyawa dipercayakan Allah SWT untuk dititipkan kepada kami.

Itulah hidup, kita tidak akan pernah tahu jalan yang ada di depan kita seperti apa. Hidup saya sejauh ini memperlihatkan, tidak mungkin kita bisa menjalani hidup sampai ke titik kita saat ini tanpa bantuan orang lain. Kesulitan akan selalu muncul, tapi setelah kesulitan akan muncul juga kemudahan.

Seperti malam ini, saya selalu berharap masih diberi kesempatan untuk bisa melunasi utang-utang saya, membahagiakan keluarga, dan memberikan manfaat.

Berharap esok matahari masih terbit dari timur. Menyambut sinar matahari yang lembut dan damai, Savitri Aryasena Frisanti.

Friday, August 18, 2017

Baris-Berbaris di Semi Palar

Tahun ini, teman-teman SMP Semi Palar diminta untuk mengisi acara Selametan TP13 dengan membuat formasi baris-berbaris. Ide yang menarik, karena anak-anak di Semi Palar tidak mengenal kegiatan baris-berbaris kecuali saat upacara bendera. Berbeda dengan saya dulu yang kental dengan kegiatan baris-berbaris, karena ikut pramuka dan sewaktu SMP sering ikut lomba tata upacara bendera.

Awalnya latihan baris-berbaris di Semi Palar bukan diperuntukkan untuk kegiatan selametan. Para kakak SMP sepakat di TP13 ini anak-anak perlu satu kegiatan yang bisa meningkatkan konsentrasi, kebersamaan, dan melatih postur tubuh. Jadi kami memutuskan untuk memberikan pelatihan baris-berbaris kepada teman-teman. Suasana yang berbeda tentu dirasakan oleh teman-teman, kegiatan belajar yang biasanya cair, dekat, dan penuh canda tawa, pada saat latihan baris-berbaris hal tersebut tidak ada.

Kegiatan baris-berbaris memang lumrah digunakan oleh militer sebagai sarana latihan mengikuti perintah, belajar dipimpin lewat aba-aba yang diberikan oleh pemimpin pasukan. Semua sudah ada aturannya, tidak boleh ada gerakan lain selain aba-aba dari pemimpin pasukan. Pada sesi latihan yang pertama teman-teman dapat melihat dan merasakan kakak-kakak berubah jadi tegas, suasana pun jadi hening karena semua berkonsentrasi dengan aba-aba yang akan diberikan.

“Semua paham?” Serempak teman-teman menjawab, “Paham!” Begitu ucap mereka saat kakak memaparkan fungsi dan tujuan dari kegiatan baris-berbaris kali ini. Selama satu minggu, teman-teman berlatih gerakan-gerakan di tempat, jalan di tempat, haluan, hingga maju jalan dan berbelok. Memang waktunya terlalu singkat. Walau dengan semangat teman-teman yang tinggi, gerakan-gerakan mereka masih jauh dari sempurna. Kesulitannya terletak pada perbedaan tinggi badan serta menyesuaikan tempo irama. Gerakan-gerakan jadi tidak beraturan, karena teman-teman sulit menyamakan tempo khususnya pada saat jalan di tempat dan gerakan berjalan.

Setelah sesi terakhir usai, semua bertepuk tangan merasakan perkembangan walau hanya satu minggu. Kini mereka bisa lebih mengenal satu sama lain, belajar menyesuaikan irama dan langkah.

Dan hari itu pun tiba, seminggu sebelum selametan Kak Andy mengumpulkan teman-teman SMP dan bertanya, “Apakah teman-teman bersedia untuk melakukan formasi baris-berbaris pada acara selametan nanti? Teman-teman akan membawa patung Soekarno, Hatta, dan Bendera Merah Putih, ke tengah-tengah karya yang dibuat oleh seluruh warga SMIPA.”, merasa tertantang mereka serempak menjawab, “Siap Kak!”

Sejak itu latihan formasi pun dimulai. Waktunya hanya 2 kali latihan di sekolah, dan 1 kali latihan di lokasi. Kakak-kakak SMP berembug untuk membuat satu formasi yang sekiranya bisa dilakukan oleh anak-anak, formasi yang tidak sulit, tetapi tidak terlalu mudah juga. Dengan waktu yang sangat terbatas serta tidak ada kepastian jumlah teman-teman yang nanti akan hadir pada saat selametan, formasi pun dibuat supaya berapapun jumlah teman-teman, formasinya nanti tetap dapat dilakukan.

Idenya adalah teman-teman berbaris 6 banjar, lalu membuka barisan, hingga membentuk tiga pasukan, di kiri, kanan, dan tengah. Kemudian perwakilan dari setiap pasukan akan maju ke depan, lalu menerima patung Soekarno, Hatta, dan Bendera Merah Putih. Setelah itu melangkah perlahan ke tengah karya kepulauan Indonesia, menempatkan ketiga benda tersebut dan kemudian kembali ke pasukannya. Dan diakhiri dengan menutup formasi barisan, kembali menjadi 6 banjar.

Entah mungkin karena baru pertama kali membuat formasi barisan, teman-teman sangat antusias dan bersungguh-sungguh agar formasi tersebut bisa sukses. Dengan bersama-sama berhitung, mereka mencoba menyamakan langkah, agar bisa rapi dan kompak. Namun apa mau dikata, waktu yang tersedia sangat sempit. Kami berdoa semoga di hari selametan semua bisa berjalan dengan lancar.

Hari Jumat, “In, untuk besok selametan kamu yang pimpin pasukan ya.” “Siap Kak!” Sehari sebelum selametan saya meminta Indira menyiapkan diri, ia menjawab tanpa ragu. Teman-teman sebelumnya mengira saya yang akan memberi aba-aba nanti. Tapi tentunya akan lebih bermakna apabila mereka sendiri yang melaksanakan seluruh rangkaian formasi tersebut.

Sabtu 12 Agustus pun tiba. Satu persatu teman-teman tiba, tapi ternyata hingga siang jumlahnya ganjil, saat latihan 36 orang, dan yang hadir setelah dihitung oleh Kak Danti hanya 27 orang. Wah, harus mengganti formasi. Karena jumlah tersebut tidak cantik apabila dibuat jadi 6 banjar.

Pukul 10:15 kami berkumpul. Hanya ada satu jam untuk berlatih. Merubah formasi, dan sekaligus melakukan gladi.

Teman-teman terlihat tegang. Tapi semua tetap bersemangat, berusaha fokus di bawah komando kakak. Akhirnya kakak memutuskan untuk membuat pasukan menjadi 3 saf, 9 banjar. Nantinya akan ada tiga kelompok kecil terdiri dari 9 orang yang akan membuat formasi. Jadi formasi tetap sama, hanya jumlah orangnya yang berbeda. Semua bekerja keras memastikan agar formasi dapat berjalan. Selain Indira, ada tiga orang perwakilan kelas yang juga memiliki tanggung jawab lebih, yaitu Fauzan membawa patung Soekarno, Feta membawa patung Hatta, dan Alika membawa bendera merah putih. Teman-teman tidak ada yang mengeluh. Semua sudah siap. Enam puluh menit pun habis. Kakak-kakak SMP membagikan dan memasangkan setangan leher/hasduk kepada teman-teman.

“In, ini setangan leher saya, yang selalu menemani saya berkegiatan di kepramukaan.” Sambil saya kalungkan ke lehernya.

11:15 kami berkumpul di lapangan utama. Kak Andy meminta semua orangtua dan teman-teman jenjang kecil untuk berkumpul, tanda upacara penutupan akan segera dimulai.

“Fauzan sebagai penjuru!” Indira memberi aba-aba.

“Siap, Fauzan sebagai penjuru!” Fauzan menyahut.

“Tiga bersaf kumpul, mulai!

“Jalan di tempat, gerak!”

“Buka formasi, jalan!” Indira berturut-turut memberikan aba-aba.

Dan teman-teman pun berhasil membuka formasi dengan lancar. Hasil latihan selama ini diperlihatkan oleh teman-teman.

“Henti, gerak!”

Fauzan, Alika, dan Feta, berjalan ke depan untuk menerima patung Soekarno, Hatta, dan Bendera Merah Putih.

“Kepada Bendera Merah Putih, hormat gerak!”

Suara lantang Indira menandai Bendera Merah Putih akan dibawa berjalan menuju tengah lapangan. Diiringi lagu Bagimu Negeri, patung Soekarno, Hatta, dan Bendera Merah Putih akhirnya menempati posisinya tepat di tengah-tengah kepulauan nusantara.

Upacara pun dilanjutkan dengan berdoa dan ditutup dengan menyanyikan lagu Indonesia Pusaka, upacara pun selesai.

“Tutup formasi jalan!”

Teman-teman dengan sigap kembali membentuk barisan 3 bersaf.

Indira lalu berjalan ke tengah pasukan, “Bubar jalan!”

Setelah hormat, semua pun balik kanan, lalu berteriak, “SMIPA!”

Dan rasa haru pun meluap-luap. Tidak menyangka mereka bisa menuntaskan tugas tersebut.


Teman-teman, teruslah raih mimpi-mimpimu, tapi tetaplah ingat tanah airmu. Jagalah bumi Indonesia.

“Disanalah aku berdiri
Jadi Pandu Ibuku...”