Saturday, September 16, 2017

Superman

Tiga tahun ini saya diberikan kesempatan untuk menjadi fasilitator di SMP Semi Palar Bandung. Bagi saya bertemu anak-anak usia 13-15 tahun sudah bukan barang baru, karena kebetulan sejak tahun 2003 saya menjadi Pembina Penggalang di Gugusdepan KB 13007. Jenjang SMP ini menarik karena masa pubertas mulai terjadi di usia ini, bisa dibilang sangat nanggung, bahkan banyak rekan bilang mending SD atau SMA daripada mengajar SMP. Memang cukup sulit untuk bisa memahami persoalan-persoalan anak-anak usia remaja saat ini. Dengan munculnya berbagai teknologi gawai berkat internet, ternyata malah menjadikan kehidupan remaja semakin rumit. Seperti misal mudahnya akses konten kekerasan dan pornografi, lalu penggunaan gawai yang berlebihan sampai kecanduan.

Pada usia tersebut, mereka sedang bertumbuh secara fisik dan pemikiran, mereka aktif, kritis, pemberontak, dan praktis. Namun mereka juga cenderung pemalas, "jika bisa tidak dilakukan mengapa harus dikerjakan?" Pada banyak kesempatan mereka akan mencoba mengetes Kakak/Guru yang mereka temui, apakah dapat mereka percayai, atau malah harus mereka kerjai. Dalam keseharian, mereka datang ke sekolah untuk bisa bertemu dengan teman-teman daripada untuk belajar, mereka datang untuk bisa eksis, cerita update berbagai tren terbaru, ataupun hal-hal yang mereka anggap lucu.

Saya pun dulu pernah melewati masa-masa itu, walaupun tanpa adanya gawai dan internet. Masa-masa yang memerlukan tingkat kedirian yang cukup baik agar tidak terseret oleh dinamika pertemanan. Jika tidak mengikuti perkembangan yang sedang hits maka akan dianggap aneh, tidak keren, atau kurang gaul. Benih-benih kerusakan, seperti geng motor, seks bebas, rokok, dan narkoba hadir di usia ini.

Tapi masa yang penuh tantangan tersebut tetap harus dilalui. Jika dapat melewati fase tersebut, buahnya akan terasa manis saat nanti menginjak masa perkuliahan. Kebiasaan serta karakter yang kuat selalu menjadi kunci bagi kesuksesan.

Bagaimana Semi Palar mencoba menjawab tantangan tersebut?

Dengan pendidikan berbasiskan proyek-masalah-tempat (Project-Problem-Place Based Learning), SMP Semi Palar mengadaptasi kurikulum nasional ke dalam bentuk pendidikan tematik yang mengambil lokasi geografis untuk olahan setiap jenjangnya. Kelas 7 bertemakan Kota Bandung, kelas 8 bertemakan Pulau Jawa, dan kelas 9 bertemakan Wawasan Nusantara.

Tiga tahun saya dipercaya menjadi fasilitator di kelas 8 SMP Semi Palar, artinya tiga kali saya bersama rekan-rekan membimbing anak-anak untuk melaksanakan satu kegiatan yaitu Perjalanan Besar ke kota-kota di Jawa. Bentuknya tentu saja berbeda dengan karyawisata pada umumnya, anak-anak sedari awal diminta untuk menabung, lalu mempersiapkan segalanya sendiri dan berkelompok. Mereka tidak berangkat menggunakan bus/mobil sewaan dan tidur di hotel, tapi ala backpacker, mereka berangkat menggunakan kereta dan angkutan umum, serta berjalan kaki. Tidur dan makan pun seadanya, disesuaikan dengan budget yang sudah disiapkan lewat menabung, berjualan, atau magang dengan orang tua.

Sisi-sisi karakter seperti kemandirian, kepemimpinan, kerja sama, komunikasi, kemampuan riset, serta kreativitas terpadu semuanya masuk dalam proyek Perjalanan Besar. Materi-materi pembelajaran pun turut masuk ke dalam proyek tersebut, pelajaran-pelajaran Matematika, IPA, IPS, PKN, Bahasa, Agama, Seni Budaya, dirangkaikan untuk dapat jadi bagian dari Perjalanan Besar, disesuaikan dengan olahan kota-kota yang akan dikunjungi.

Sepulangnya anak-anak diminta untuk membuat buku jurnal Perjalanan Besar. Sebuah proyek yang menggenapkan semua pembelajaran yang telah di dapat, dengan cara membagikan pengalaman mereka lewat sebuah buku karya bersama.
Tentunya Kakak/Guru jadi perlu segala bisa, dari mulai memadukan materi-materi pelajaran ke dalam proyek, memimpin perjalanan, mengatasi keadaan gawat darurat, mencari narasumber yang tepat untuk anak-anak, sampai memfasilitasi proses pembuatan buku hingga peluncuran bukunya.

Tujuan metode tersebut adalah agar anak bisa memahami bagaimana penerapan materi-materi pelajaran yang sudah ia dapatkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Karena pada saat masuk kehidupan bermasyarakat kelak, mereka harus bisa berkolaborasi dengan berbagai disiplin ilmu, memiliki kemampuan komunikasi yang mumpuni dengan siapa pun, mampu berpikir kritis, serta dapat berpikir kreatif untuk bisa memecahkan berbagai persoalan yang semakin kompleks.

Hasilnya jadi menarik saat akhir semester tiba. Seperti saat ujian, di Semi Palar tidak ada soal pilihan ganda, semua soal berbentuk esai. Anak-anak diharapkan dapat menemukan hubungan sebab-akibat serta mampu menjelaskan dan menerapkan ilmu-ilmu yang sudah di dapat. Lalu pembuatan rapotnya pun berupa detail penceritaan proses pembelajaran anak di semester tersebut, bukan berupa nilai-nilai angka/huruf saja.

Tidaklah berlebihan jika Kakak/Guru di SMP Semi Palar itu seperti superman/superwoman. Harus siap kapan saja, dan harus serba bisa.
Pengajarnya tidak bisa fresh graduate, perlu pengalaman bekerja terlebih dahulu, atau perlu kaya dengan pengalaman berorganisasi. Harus mampu improvisasi, berpikir cepat, dan kaya dengan referensi. Mereka juga harus memiliki kedirian yang kuat agar bisa selalu objektif, tidak mudah terbawa emosi saat menghadapi anak-anak di kelas. Dan yang tidak kalah penting, mampu mengaitkan berbagai pengetahuan dan pengalaman serta materi-materi kurikulum nasional ke dalam pembelajaran proyek di kelas.

Adakah Kakak/Guru ideal semacam itu?

Yang pasti sulit sekali, jika tidak mau dibilang tidak ada. Lagipula memang apa salahnya dengan pendidikan sekolah biasa? Cukup banyak salahnya menurut saya, karena sekolah formal pada umumnya hanya mengejar nilai akhir saja, semua sudah ada standarisasinya, bukan mengejar pemahaman tapi yang penting hapal dan mampu ujian, bukan belajar berkolaborasi tetapi berkompetisi, bukan memupuk kreativitas tetapi memasungnya, dengan terus memaksa anak duduk di kelas mendengarkan guru dan mengerjakan tumpukan tugas dan soal-soal. Lalu yang paling sulit adalah besarnya jumlah anak dalam satu kelas sehingga tidak mungkin bisa dilakukan pengamatan dan terperhatikan satu per satu.

Jadi guru teh kudu kumaha?

Saya juga tidak tahu. Bahkan apakah saya layak disebut sebagai guru? Masih bingung menjawabnya.

Berkaca dari konsep Ki Hajar Dewantara mengenai guru, saya kira tepatlah jika profesi guru itu harus berupa pengabdian. Alangkah sulitnya mendidik anak-anak apabila guru masih memikirkan urusan dapur. Tapi sulit juga mencari orang dewasa yang sudah mapan dan kaya pengalaman mau menjadi seorang guru. Jadi tidak salah jika seorang guru yang baik itu ibarat Superman.

Untuk semua guru-guru saya, terimakasih atas semua dedikasimu.

Semoga saya bisa melanjutkan pengajaran mereka.