Saturday, January 21, 2017

Mengikuti Sang Angin

2011. Adalah awal mula situasi saat ini. Saat itu banjir besar merusak kantor Bapak saya di Bekasi. Kantor yang baru berdiri langsung tutup, karena semua aset seperti komputer dan barang-barang lainnya rusak terendam banjir.

Masalah muncul karena Bapak menggadaikan rumah untuk usahanya tersebut. Jadi mulailah berdatangan orang bank menagih cicilan sementara Bapak sudah pensiun, sehingga tak ada lagi sumber pendapatan.

Satu persatu aset Bapak habis. Tapi saya takjub dengan kemampuan Bapak menghadapi berbagai persoalan lanjutannya. Juli tahun 2011 saya menikah, dan saya ingat Bapak menyumbang banyak untuk membantu saya. Lalu tak lama tahun 2012-2013 dua adik perempuan saya juga menikah. Entah bagaimana caranya Bapak bisa menyelenggarakan hajatan berturut-turut waktu itu.

Tahun 2013 Bapak dan Ibu tiri saya berangkat haji. Ibu saya tidak ikut karena Ibu tengah sakit. Dahsyatnya ketika itu Ibu merelakan uang tabungan hajinya untuk bayar cicilan utang.

Tahun 2014 sungguh mukjizat bagi saya. Di tengah berbagai persoalan, Shihab lahir dan saya bergabung dengan Semi Palar.

Enam tahun Bapak bertahan, dengan dibantu keluarga besar tentu saja. Selama itu tidak pernah satu kali pun saya melihat Bapak menyalahkan orang lain atas kondisinya saat ini.

Tahun 2016 jadi penentu banyak hal. Saat Bapak sudah habis-habisan, Ibu sakit dan harus masuk RS selama satu bulan. Kemudian akhirnya setelah perjalanan yang melelahkan Bapak harus merelakan rumah dilelang.

Saya perlu menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga, karena saya kurang bisa fokus dan tidak solutif. Bawaannya terus bersedih karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu orangtua. Mulai bulan ini insya Allah saya bisa fokus dan bekerja lebih optimal.

Sejujurnya saya katakan cerita ini belum ada apa-apanya dibandingkan perjuangan orang lain. Saya yakin setiap keluarga memiliki cerita perjuangannya masing-masing. Pada kesempatan ini ijinkan saya mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya untuk Bapak dan Ibu terkasih, yang selalu memberi inspirasi. Adik-adikku tersayang Lita-Iki, Niar-Hermis, dan spesial untuk Agni dan Gian, yang tidak pernah tidak, selalu mementingkan keluarga dibanding dirinya sendiri. Hampura Aa teu bisa mantuan nanaon.

Terakhir saya ingat pesan Bapak, hidup memang begini, kadang naik kadang turun. "Urang kudu bisa ngagilekna." Kita mesti pandai menyiasatinya, agar tetap bisa bertahan... Seperti angin.

No comments:

Post a Comment