Saturday, March 25, 2017

Satu Tanah Air

Hari ini saya bertemu dengan orang-orang hebat. Mereka berbagi tentang betapa indahnya keragaman. Muncul pernyataan yang menurut saya menarik, di Indonesia ini ternyata yang namanya tanah air bisa dibilang masih berupa konsep yang belum mengakar secara budaya. Berulang kali kita mendengar cerita betapa kayanya Indonesia, alamnya, budayanya, memperlihatkan keanekaragaman yang tak ada tandingannya. Akan tetapi pernyataan tersebut selalu diakhiri dengan tidak adanya kepedulian, kurangnya perhatian pemerintah, atau minimnya pengetahuan akan tempat tersebut. Semacam satu tanah air itu tidak menyatu dalam diri kita.

Hal tersebut memunculkan pertanyaan berikutnya, apakah yang bisa kita perbuat? Karena ternyata beda sekali konsep yang dipahami oleh orang-orang Indonesia mengenai tanah air itu sendiri.

Tidak perlulah jauh-jauh melihat ke pulau-pulau terluar Indonesia, saat di kelas sekolah pun kita bisa melihat keberagaman itu terjadi. Hal seperti perbedaan kemampuan, latar belakang keluarga, hingga kebiasaan sehari-hari dan agama. Konsep satu tanah air ternyata tidak cukup hanya diajarkan melalui pelajaran pendidikan kewarganegaraan, sejarah, atau upacara bendera setiap minggunya.

Atau mungkin kita memang tidak layak menjadi satu tanah air? Lebih memilih hidup dengan yang sepaham saja. Meninggalkan keberagaman.

Saya sampai tidak bisa berkata-kata, saat di internet melihat ada yang berkomentar, kalau agamamu itu agama perdamaian mengapa sepertinya ingin sekali menguasai dunia? Menjadikan dunia ini seluruhnya masuk agamamu saja. Segala cara dilakukan, bahkan negaranya sendiri dihancurkan. Mengapa? Saya tidak paham hal-hal menguasai dunia, tapi saya akui memang sulit mengelak dari pemikiran atau sudut pandang tersebut.

Jika memang demikian adanya, kita perlu berkaca, mengingat kembali, adakah kita sewaktu hendak dilahirkan bisa memilih? Memilih lahir jadi berkulit putih, jadi kuning, jadi hitam, atau lahir di keluarga muslim, di keluarga nasrani, atau keluarga dengan aliran kepercayaan?

Satu tanah air haruslah dimulai dengan keterbukaan kita akan keberagaman. Miris saat melihat ternyata yang peduli terhadap kondisi budaya dan pulau-pulau Indonesia malah warga negara asing. Lucunya saat budaya atau pulau kita yang terabaikan tersebut punah atau diambil negara lain barulah kita ribut-ribut. Mengapa demikian? Tampaknya kita masih sibuk dengan urusan perut saja.

Semoga setelah urusan perut selesai kita bisa duduk bersama, berdiskusi, apa itu tanah air...

"Di sana tempat lahir Beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata"

No comments:

Post a Comment