Hari ini saya bertemu dengan orang-orang hebat. Mereka berbagi tentang betapa indahnya keragaman. Muncul pernyataan yang menurut saya menarik, di Indonesia ini ternyata yang namanya tanah air bisa dibilang masih berupa konsep yang belum mengakar secara budaya. Berulang kali kita mendengar cerita betapa kayanya Indonesia, alamnya, budayanya, memperlihatkan keanekaragaman yang tak ada tandingannya. Akan tetapi pernyataan tersebut selalu diakhiri dengan tidak adanya kepedulian, kurangnya perhatian pemerintah, atau minimnya pengetahuan akan tempat tersebut. Semacam satu tanah air itu tidak menyatu dalam diri kita.
Hal tersebut memunculkan pertanyaan berikutnya, apakah yang bisa kita perbuat? Karena ternyata beda sekali konsep yang dipahami oleh orang-orang Indonesia mengenai tanah air itu sendiri.
Tidak perlulah jauh-jauh melihat ke pulau-pulau terluar Indonesia, saat di kelas sekolah pun kita bisa melihat keberagaman itu terjadi. Hal seperti perbedaan kemampuan, latar belakang keluarga, hingga kebiasaan sehari-hari dan agama. Konsep satu tanah air ternyata tidak cukup hanya diajarkan melalui pelajaran pendidikan kewarganegaraan, sejarah, atau upacara bendera setiap minggunya.
Atau mungkin kita memang tidak layak menjadi satu tanah air? Lebih memilih hidup dengan yang sepaham saja. Meninggalkan keberagaman.
Saya sampai tidak bisa berkata-kata, saat di internet melihat ada yang berkomentar, kalau agamamu itu agama perdamaian mengapa sepertinya ingin sekali menguasai dunia? Menjadikan dunia ini seluruhnya masuk agamamu saja. Segala cara dilakukan, bahkan negaranya sendiri dihancurkan. Mengapa? Saya tidak paham hal-hal menguasai dunia, tapi saya akui memang sulit mengelak dari pemikiran atau sudut pandang tersebut.
Jika memang demikian adanya, kita perlu berkaca, mengingat kembali, adakah kita sewaktu hendak dilahirkan bisa memilih? Memilih lahir jadi berkulit putih, jadi kuning, jadi hitam, atau lahir di keluarga muslim, di keluarga nasrani, atau keluarga dengan aliran kepercayaan?
Satu tanah air haruslah dimulai dengan keterbukaan kita akan keberagaman. Miris saat melihat ternyata yang peduli terhadap kondisi budaya dan pulau-pulau Indonesia malah warga negara asing. Lucunya saat budaya atau pulau kita yang terabaikan tersebut punah atau diambil negara lain barulah kita ribut-ribut. Mengapa demikian? Tampaknya kita masih sibuk dengan urusan perut saja.
Semoga setelah urusan perut selesai kita bisa duduk bersama, berdiskusi, apa itu tanah air...
"Di sana tempat lahir Beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata"
Saturday, March 25, 2017
Saturday, March 18, 2017
Jadi Untuk Apa Sekolah?
Sebuah diskusi pagi menghangatkan cuaca dingin akibat hujan deras. Pertanyaan menarik muncul karena sekolah sebagai sarana pendidikan adalah sebuah institusi yang sejak zaman baheula hingga saat ini tidak banyak mengalami perubahan.
Dari dulu yang namanya sekolah ya duduk di kursi sambil nyatet dan dengerin guru ceramah di depan kelas.
Walaupun sekarang muncul banyak sekolah-sekolah alternatif tapi belum cukup menjawab kebutuhan dunia di zaman teknologi seperti saat ini.
Yang menarik lagi adalah sekolah yang bagus itu mahal. Pada akhirnya hanya mereka yang memiliki akses saja yang bisa menikmati pendidikan yang baik.
Di sisi lain terlihat anak-anak terpenjara oleh sekolah. Mereka dituntut untuk bisa menyelesaikan berbagai ujian demi selembar ijazah yang belum tentu berguna. Lagi-lagi hanya yang bermodal saja yang dapat memastikan anak-anaknya memiliki masa depan yang lebih pasti. Karena pendidikan tinggi itu lebih mahal lagi.
Bagi para masyarakat menengah ke bawah, kuliah itu laksana mukjizat. Tapi ikut kuliah pun tidak menjamin kehidupan yang lebih baik. Bayangkan setelah sekolah dari TK hingga S1 kurang lebih 18 tahunan, mereka harus terjebak dengan pekerjaan yang belum tentu jadi minat mereka. Karena ya mau bagaimana lagi, faktor ekonomi dan kebutuhan keluarga harus didahulukan.
Melihat kondisi saat ini, dunia dimana teknologi jadi raja, maka tidak ada satupun profesi yang bisa dibilang aman 100%.
Contohnya: dulu teknologi pengenalan wajah adalah hal yang dikatakan tidak mungkin, tapi kini teknologi deteksi wajah sudah jadi hal yang lumrah dan semakin baik akurasinya. Kendaraan tanpa supir kini mulai muncul. Lalu sudah ada toko swalayan yang tidak ada kasir, semua serba otomatis, masuk, bawa belanjaan, keluar, selesai. Teknologi dan kecerdasan buatan kini semakin mampu menyaingi manusia. Uangpun mulai berubah tatanannya dengan munculnya bitcoin (mata uang digital). Bidang seni juga tak luput dari ancaman teknologi, kini kecerdasan buatan mulai mampu membuat karya seni yang tidak kalah estetis. Saat semua teknologi tersebut jadi massal dan murah, maka tidak terbayangkan bagaimana dampaknya terhadap manusia. Profesi guru pun terancam, karena sebetulnya bisa dibilang mau belajar apa pun saat ini asalkan ada koneksi internet pasti bisa. Sekolah-sekolah konvensional akan tidak berlaku. Akan banyak orang-orang menjadi pengangguran, bukan karena mereka tidak punya keahlian, tapi karena keahlian mereka sudah diambil alih oleh teknologi.
Satu artikel dari World Economic Forum menyatakan, kita kini tengah masuk revolusi industri berikutnya, ditandai dengan masifnya teknologi dan kecerdasan buatan.
Seperti waktu revolusi industri dulu, kini revolusi teknologi datang dengan lebih dahsyat, berlaku eksponensial dan dunia pendidikan terlambat mengikutinya. Pendidikan saat ini masih berkutat dengan hapalan dan struktur rigid, yang mana jika hal tersebut tidak diubah sudah pasti manusia akan kalah oleh teknologi.
Tidak akan lama lagi, pabrik-pabrik akan menggantikan manusia dengan mesin. Maka dunia pendidikan kudu berevolusi. Fokus mesti ditekankan pada kemampuan berkolaborasi, berkomunikasi, negosiasi, berpikir kritis, kreatif, menyelesaikan persoalan dan kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi yang begitu cepat.
Nah, jika hal-hal tersebut tidak dapat teratasi, untuk apa sekolah? Apakah hanya untuk dapat ijazah? Itu pun belum tentu berguna karena persaingan akan semakin ketat dan berlaku global.
Apakah anak-anak kita kelak bisa bersaing dengan warga seluruh dunia? Apakah mereka bisa bersaing dengan teknologi dan kecerdasan buatan?
Tentunya tidak masuk akal jika semua persoalan dibebankan ke sekolah. Pendidikan harus jadi tanggung jawab semua pihak.
Kita tak bisa mundur lagi. Karena masa depan itu sudah datang sekarang.
Dari dulu yang namanya sekolah ya duduk di kursi sambil nyatet dan dengerin guru ceramah di depan kelas.
Walaupun sekarang muncul banyak sekolah-sekolah alternatif tapi belum cukup menjawab kebutuhan dunia di zaman teknologi seperti saat ini.
Yang menarik lagi adalah sekolah yang bagus itu mahal. Pada akhirnya hanya mereka yang memiliki akses saja yang bisa menikmati pendidikan yang baik.
Di sisi lain terlihat anak-anak terpenjara oleh sekolah. Mereka dituntut untuk bisa menyelesaikan berbagai ujian demi selembar ijazah yang belum tentu berguna. Lagi-lagi hanya yang bermodal saja yang dapat memastikan anak-anaknya memiliki masa depan yang lebih pasti. Karena pendidikan tinggi itu lebih mahal lagi.
Bagi para masyarakat menengah ke bawah, kuliah itu laksana mukjizat. Tapi ikut kuliah pun tidak menjamin kehidupan yang lebih baik. Bayangkan setelah sekolah dari TK hingga S1 kurang lebih 18 tahunan, mereka harus terjebak dengan pekerjaan yang belum tentu jadi minat mereka. Karena ya mau bagaimana lagi, faktor ekonomi dan kebutuhan keluarga harus didahulukan.
Melihat kondisi saat ini, dunia dimana teknologi jadi raja, maka tidak ada satupun profesi yang bisa dibilang aman 100%.
Contohnya: dulu teknologi pengenalan wajah adalah hal yang dikatakan tidak mungkin, tapi kini teknologi deteksi wajah sudah jadi hal yang lumrah dan semakin baik akurasinya. Kendaraan tanpa supir kini mulai muncul. Lalu sudah ada toko swalayan yang tidak ada kasir, semua serba otomatis, masuk, bawa belanjaan, keluar, selesai. Teknologi dan kecerdasan buatan kini semakin mampu menyaingi manusia. Uangpun mulai berubah tatanannya dengan munculnya bitcoin (mata uang digital). Bidang seni juga tak luput dari ancaman teknologi, kini kecerdasan buatan mulai mampu membuat karya seni yang tidak kalah estetis. Saat semua teknologi tersebut jadi massal dan murah, maka tidak terbayangkan bagaimana dampaknya terhadap manusia. Profesi guru pun terancam, karena sebetulnya bisa dibilang mau belajar apa pun saat ini asalkan ada koneksi internet pasti bisa. Sekolah-sekolah konvensional akan tidak berlaku. Akan banyak orang-orang menjadi pengangguran, bukan karena mereka tidak punya keahlian, tapi karena keahlian mereka sudah diambil alih oleh teknologi.
Satu artikel dari World Economic Forum menyatakan, kita kini tengah masuk revolusi industri berikutnya, ditandai dengan masifnya teknologi dan kecerdasan buatan.
Seperti waktu revolusi industri dulu, kini revolusi teknologi datang dengan lebih dahsyat, berlaku eksponensial dan dunia pendidikan terlambat mengikutinya. Pendidikan saat ini masih berkutat dengan hapalan dan struktur rigid, yang mana jika hal tersebut tidak diubah sudah pasti manusia akan kalah oleh teknologi.
Tidak akan lama lagi, pabrik-pabrik akan menggantikan manusia dengan mesin. Maka dunia pendidikan kudu berevolusi. Fokus mesti ditekankan pada kemampuan berkolaborasi, berkomunikasi, negosiasi, berpikir kritis, kreatif, menyelesaikan persoalan dan kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi yang begitu cepat.
Nah, jika hal-hal tersebut tidak dapat teratasi, untuk apa sekolah? Apakah hanya untuk dapat ijazah? Itu pun belum tentu berguna karena persaingan akan semakin ketat dan berlaku global.
Apakah anak-anak kita kelak bisa bersaing dengan warga seluruh dunia? Apakah mereka bisa bersaing dengan teknologi dan kecerdasan buatan?
Tentunya tidak masuk akal jika semua persoalan dibebankan ke sekolah. Pendidikan harus jadi tanggung jawab semua pihak.
Kita tak bisa mundur lagi. Karena masa depan itu sudah datang sekarang.
Saturday, January 21, 2017
Mengikuti Sang Angin
2011. Adalah awal mula situasi saat ini. Saat itu banjir besar merusak kantor Bapak saya di Bekasi. Kantor yang baru berdiri langsung tutup, karena semua aset seperti komputer dan barang-barang lainnya rusak terendam banjir.
Masalah muncul karena Bapak menggadaikan rumah untuk usahanya tersebut. Jadi mulailah berdatangan orang bank menagih cicilan sementara Bapak sudah pensiun, sehingga tak ada lagi sumber pendapatan.
Satu persatu aset Bapak habis. Tapi saya takjub dengan kemampuan Bapak menghadapi berbagai persoalan lanjutannya. Juli tahun 2011 saya menikah, dan saya ingat Bapak menyumbang banyak untuk membantu saya. Lalu tak lama tahun 2012-2013 dua adik perempuan saya juga menikah. Entah bagaimana caranya Bapak bisa menyelenggarakan hajatan berturut-turut waktu itu.
Tahun 2013 Bapak dan Ibu tiri saya berangkat haji. Ibu saya tidak ikut karena Ibu tengah sakit. Dahsyatnya ketika itu Ibu merelakan uang tabungan hajinya untuk bayar cicilan utang.
Tahun 2014 sungguh mukjizat bagi saya. Di tengah berbagai persoalan, Shihab lahir dan saya bergabung dengan Semi Palar.
Enam tahun Bapak bertahan, dengan dibantu keluarga besar tentu saja. Selama itu tidak pernah satu kali pun saya melihat Bapak menyalahkan orang lain atas kondisinya saat ini.
Tahun 2016 jadi penentu banyak hal. Saat Bapak sudah habis-habisan, Ibu sakit dan harus masuk RS selama satu bulan. Kemudian akhirnya setelah perjalanan yang melelahkan Bapak harus merelakan rumah dilelang.
Saya perlu menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga, karena saya kurang bisa fokus dan tidak solutif. Bawaannya terus bersedih karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu orangtua. Mulai bulan ini insya Allah saya bisa fokus dan bekerja lebih optimal.
Sejujurnya saya katakan cerita ini belum ada apa-apanya dibandingkan perjuangan orang lain. Saya yakin setiap keluarga memiliki cerita perjuangannya masing-masing. Pada kesempatan ini ijinkan saya mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya untuk Bapak dan Ibu terkasih, yang selalu memberi inspirasi. Adik-adikku tersayang Lita-Iki, Niar-Hermis, dan spesial untuk Agni dan Gian, yang tidak pernah tidak, selalu mementingkan keluarga dibanding dirinya sendiri. Hampura Aa teu bisa mantuan nanaon.
Terakhir saya ingat pesan Bapak, hidup memang begini, kadang naik kadang turun. "Urang kudu bisa ngagilekna." Kita mesti pandai menyiasatinya, agar tetap bisa bertahan... Seperti angin.
Masalah muncul karena Bapak menggadaikan rumah untuk usahanya tersebut. Jadi mulailah berdatangan orang bank menagih cicilan sementara Bapak sudah pensiun, sehingga tak ada lagi sumber pendapatan.
Satu persatu aset Bapak habis. Tapi saya takjub dengan kemampuan Bapak menghadapi berbagai persoalan lanjutannya. Juli tahun 2011 saya menikah, dan saya ingat Bapak menyumbang banyak untuk membantu saya. Lalu tak lama tahun 2012-2013 dua adik perempuan saya juga menikah. Entah bagaimana caranya Bapak bisa menyelenggarakan hajatan berturut-turut waktu itu.
Tahun 2013 Bapak dan Ibu tiri saya berangkat haji. Ibu saya tidak ikut karena Ibu tengah sakit. Dahsyatnya ketika itu Ibu merelakan uang tabungan hajinya untuk bayar cicilan utang.
Tahun 2014 sungguh mukjizat bagi saya. Di tengah berbagai persoalan, Shihab lahir dan saya bergabung dengan Semi Palar.
Enam tahun Bapak bertahan, dengan dibantu keluarga besar tentu saja. Selama itu tidak pernah satu kali pun saya melihat Bapak menyalahkan orang lain atas kondisinya saat ini.
Tahun 2016 jadi penentu banyak hal. Saat Bapak sudah habis-habisan, Ibu sakit dan harus masuk RS selama satu bulan. Kemudian akhirnya setelah perjalanan yang melelahkan Bapak harus merelakan rumah dilelang.
Saya perlu menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga, karena saya kurang bisa fokus dan tidak solutif. Bawaannya terus bersedih karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu orangtua. Mulai bulan ini insya Allah saya bisa fokus dan bekerja lebih optimal.
Sejujurnya saya katakan cerita ini belum ada apa-apanya dibandingkan perjuangan orang lain. Saya yakin setiap keluarga memiliki cerita perjuangannya masing-masing. Pada kesempatan ini ijinkan saya mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya untuk Bapak dan Ibu terkasih, yang selalu memberi inspirasi. Adik-adikku tersayang Lita-Iki, Niar-Hermis, dan spesial untuk Agni dan Gian, yang tidak pernah tidak, selalu mementingkan keluarga dibanding dirinya sendiri. Hampura Aa teu bisa mantuan nanaon.
Terakhir saya ingat pesan Bapak, hidup memang begini, kadang naik kadang turun. "Urang kudu bisa ngagilekna." Kita mesti pandai menyiasatinya, agar tetap bisa bertahan... Seperti angin.
Wednesday, January 18, 2017
Malam Ketiga
Malam ini malam ketiga anakku demam. Demam karena flu tampaknya. Semoga bukan demam berdarah atau tipus. Sepulangnya aku dari tempat kerja, istriku bertanya, "Abah, ada uang buat beli obat demam?" Sayang di sakuku hanya tinggal 15 ribu saja. Terpaksa istriku cari pinjaman. Dapatlah 50 ribu. Berjalan kaki aku menuju apotek dekat rumah. Letak apoteknya di pinggir jalan utama.
Aku jadi teringat banyak hal, betapa hidup selalu berhasil memberi kita beribu-ribu kejutan. Setidaknya begitu yang kutahu. Dari mulai hampir drop out saat kuliah, ibu yang sering kambuh sakitnya, usaha bangkrut, pernikahan, hingga menyaksikan kelahiran dan kematian.
Awal tahun ini juga, akhirnya Bapakku menyerah. Rumah yang diusahakan untuk terus dipertahankan akhirnya dijual. Rumah pertama Bapak, dari 35 tahun yang lalu. Harga jualnya tidak sesuai pasaran tentu saja, tapi karena sudah tak sanggup lagi membayar utang akhirnya Bapak relakan. Bapak bilang, baru kali ini merasakan cobaan yang begitu berat. Di masa pensiunnya, Bapak tidak bisa bersantai, malah dililit persoalan-persoalan yang konyolnya aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelesaikannya.
Jumat besok Bapak akan pindah ke rumah kontrakan. Aku baru saja dapat kabar alamat kontrakannya. Sembari membeli obat, rasanya sedih tak tertahankan. Coba aku punya rumah sendiri. Pasti aku bisa bantu orangtuaku.
Dan saat keluar apotek, aku melihat di seberang jalan, seorang ibu beserta 4 anak-anaknya sedang duduk-duduk di pinggir jalan. Satu anak ia gendong memakai kain, di sampingnya ada gerobak kecil kosong, tampaknya ia gunakan untuk mengangkut anak-anaknya dan sekaligus jadi rumah mereka.
Orang-orang disana berlaku seperti aku, hanya melewati mereka tanpa ada yang berusaha membantu. Aku jadi ingat, sebelumnya rasanya aku pun pernah melihat ibu itu beserta anak-anak dan gerobaknya.
Dan aku jadi mengerti, bahwa boleh jadi aku kurang bersyukur. Kurang menghargai waktuku, kurang memberikan usaha terbaikku, kurang memperhatikan orang-orang disekitarku. Kurang menerima keadaanku dan keluarga. Apalah gunanya kesehatanku, ilmuku, jiwaku, jika aku tidak mensyukurinya?
Tapi memang itu masalahnya bukan? Aku sering kali tidak sadar, kalau aku tidak bersyukur.
Saat masuk gang dekat rumah, aku melihat seekor kucing tengah duduk menatap jalan gang tersebut. Entah apa yang ada dipikirannya.
Aku rasa ia ingin menasehatiku, hiduplah seperti kucing, tidak pernah khawatir, hari ini atau besok bisa makan atau tidak. Hidup jalan terus. Karena urusan hidup sudah ada yang mengatur.
Sesampainya di rumah, aku ajak anakku bermain, kupeluk erat dirinya, maafkan bapakmu ini, semoga engkau lekas sembuh.
Aku jadi teringat banyak hal, betapa hidup selalu berhasil memberi kita beribu-ribu kejutan. Setidaknya begitu yang kutahu. Dari mulai hampir drop out saat kuliah, ibu yang sering kambuh sakitnya, usaha bangkrut, pernikahan, hingga menyaksikan kelahiran dan kematian.
Awal tahun ini juga, akhirnya Bapakku menyerah. Rumah yang diusahakan untuk terus dipertahankan akhirnya dijual. Rumah pertama Bapak, dari 35 tahun yang lalu. Harga jualnya tidak sesuai pasaran tentu saja, tapi karena sudah tak sanggup lagi membayar utang akhirnya Bapak relakan. Bapak bilang, baru kali ini merasakan cobaan yang begitu berat. Di masa pensiunnya, Bapak tidak bisa bersantai, malah dililit persoalan-persoalan yang konyolnya aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelesaikannya.
Jumat besok Bapak akan pindah ke rumah kontrakan. Aku baru saja dapat kabar alamat kontrakannya. Sembari membeli obat, rasanya sedih tak tertahankan. Coba aku punya rumah sendiri. Pasti aku bisa bantu orangtuaku.
Dan saat keluar apotek, aku melihat di seberang jalan, seorang ibu beserta 4 anak-anaknya sedang duduk-duduk di pinggir jalan. Satu anak ia gendong memakai kain, di sampingnya ada gerobak kecil kosong, tampaknya ia gunakan untuk mengangkut anak-anaknya dan sekaligus jadi rumah mereka.
Orang-orang disana berlaku seperti aku, hanya melewati mereka tanpa ada yang berusaha membantu. Aku jadi ingat, sebelumnya rasanya aku pun pernah melihat ibu itu beserta anak-anak dan gerobaknya.
Dan aku jadi mengerti, bahwa boleh jadi aku kurang bersyukur. Kurang menghargai waktuku, kurang memberikan usaha terbaikku, kurang memperhatikan orang-orang disekitarku. Kurang menerima keadaanku dan keluarga. Apalah gunanya kesehatanku, ilmuku, jiwaku, jika aku tidak mensyukurinya?
Tapi memang itu masalahnya bukan? Aku sering kali tidak sadar, kalau aku tidak bersyukur.
Saat masuk gang dekat rumah, aku melihat seekor kucing tengah duduk menatap jalan gang tersebut. Entah apa yang ada dipikirannya.
Aku rasa ia ingin menasehatiku, hiduplah seperti kucing, tidak pernah khawatir, hari ini atau besok bisa makan atau tidak. Hidup jalan terus. Karena urusan hidup sudah ada yang mengatur.
Sesampainya di rumah, aku ajak anakku bermain, kupeluk erat dirinya, maafkan bapakmu ini, semoga engkau lekas sembuh.
Saturday, December 24, 2016
Apa Guna Keluh Kesah
Apa guna keluh kesah
Apa guna keluh kesah
Pramuka tak pernah bersusah
Apa guna keluh kesah
Sebuah lirik lagu sederhana yang selalu saya ingat ketika melihat adik-adik saya sedang menghadapi kesulitan.
Sungguh jadi sedih karena jika dirunut ke belakang, ulah kitalah orang-orang dewasa, yang membuat mereka menanggung banyak kesulitan.
Kita bisa melihat seiring bertambahnya usia bumi, mengapa kondisi alam dan isinya malah semakin memburuk?
Mengapa begitu sulit mengesampingkan perbedaan suku, agama, ras, kemudian duduk bersama membicarakan persamaan-persamaan kita, mencoba mencari solusi untuk menjadikan dunia yang lebih baik?
Apakah ini yang ingin kita wariskan kepada anak cucu kita?
Aneh sekali kelakuan kita manusia, yang malah sibuk saling menyakiti satu sama lain, bukannya bekerja sama memimpin bumi agar damai dan sejahtera.
Tampaknya betul kata Baden Powell, segala permasalahan di muka bumi ini adalah akibat dari keegoisan manusia.
Tapi mohon maaf, saya sendiri pun tidak memberikan contoh yang baik. Entah berapa banyak kesalahan yang sudah saya lakukan. Juga banyak perkataan yang telah membuat sakit hati. Utang-utang. Sering terlambat. Tindakan-tindakan yang merusak keluarga, teman, dan lingkungan sekitar. Dan yang akan jadi korban tentu orang-orang terdekat dan para generasi penerus.
Lalu apa solusinya? Bisakah kita kembali ke titik awal? Memulai perubahan untuk memperbaiki keadaan?
Baden Powell merumuskan solusinya dengan sangat ringkas: Setiap hari berbuat kebaikan.
Cukup satu kali saja. Berbuat kebaikan apa pun bentuknya. Setiap hari. Kondisi dan situasi boleh jadi menyudutkan kita, membuat kita ingin menyerah saja, tapi bukankah sudah jadi fitrahnya manusia ingin berbuat kebaikan? Jadi ingatlah untuk selalu berbuat kebaikan. Niatkan untuk beribadah, bukan untuk mendapatkan pujian atau imbalan. Maka sifat egois, mementingkan diri pribadi/golongan akan hilang.
Janganlah menunda-nunda, bukankah kita diajarkan agar berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan?
Karena cukup satu kebaikan saja, asalkan dilakukan setiap hari, maka dunia akan jadi lebih baik. Nah, kebaikan apa yang sudah kau lakukan hari ini?
#cintaalamdankasihsayangsesamamanusia
Apa guna keluh kesah
Pramuka tak pernah bersusah
Apa guna keluh kesah
Sebuah lirik lagu sederhana yang selalu saya ingat ketika melihat adik-adik saya sedang menghadapi kesulitan.
Sungguh jadi sedih karena jika dirunut ke belakang, ulah kitalah orang-orang dewasa, yang membuat mereka menanggung banyak kesulitan.
Kita bisa melihat seiring bertambahnya usia bumi, mengapa kondisi alam dan isinya malah semakin memburuk?
Mengapa begitu sulit mengesampingkan perbedaan suku, agama, ras, kemudian duduk bersama membicarakan persamaan-persamaan kita, mencoba mencari solusi untuk menjadikan dunia yang lebih baik?
Apakah ini yang ingin kita wariskan kepada anak cucu kita?
Aneh sekali kelakuan kita manusia, yang malah sibuk saling menyakiti satu sama lain, bukannya bekerja sama memimpin bumi agar damai dan sejahtera.
Tampaknya betul kata Baden Powell, segala permasalahan di muka bumi ini adalah akibat dari keegoisan manusia.
Tapi mohon maaf, saya sendiri pun tidak memberikan contoh yang baik. Entah berapa banyak kesalahan yang sudah saya lakukan. Juga banyak perkataan yang telah membuat sakit hati. Utang-utang. Sering terlambat. Tindakan-tindakan yang merusak keluarga, teman, dan lingkungan sekitar. Dan yang akan jadi korban tentu orang-orang terdekat dan para generasi penerus.
Lalu apa solusinya? Bisakah kita kembali ke titik awal? Memulai perubahan untuk memperbaiki keadaan?
Baden Powell merumuskan solusinya dengan sangat ringkas: Setiap hari berbuat kebaikan.
Cukup satu kali saja. Berbuat kebaikan apa pun bentuknya. Setiap hari. Kondisi dan situasi boleh jadi menyudutkan kita, membuat kita ingin menyerah saja, tapi bukankah sudah jadi fitrahnya manusia ingin berbuat kebaikan? Jadi ingatlah untuk selalu berbuat kebaikan. Niatkan untuk beribadah, bukan untuk mendapatkan pujian atau imbalan. Maka sifat egois, mementingkan diri pribadi/golongan akan hilang.
Janganlah menunda-nunda, bukankah kita diajarkan agar berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan?
Karena cukup satu kebaikan saja, asalkan dilakukan setiap hari, maka dunia akan jadi lebih baik. Nah, kebaikan apa yang sudah kau lakukan hari ini?
#cintaalamdankasihsayangsesamamanusia
Friday, October 21, 2016
Deep Web
Dunia internet memang ajaib. Ketika semua serba open source dan privasi jadi prioritas, muncullah TOR project. Sebuah proyek nirlaba yang mengkhususkan diri untuk menciptakan jaringan yang bebas dan menjaga privasi para penggunanya. Berintikan browser firefox, TOR browser menjadi salah satu sarana untuk menjelajah deep web dan dark web. Tempat-tempat terdalam dan gelap yang tidak terindeks oleh mesin pencari Google.
Analoginya itu seperti gunung es. Website-website yang bisa kita akses lewat browser biasa seperti chrome, firefox, internet explorer, dll adalah surface web, puncak gunung es yang tampak di atas permukaan laut, karena website-website tersebut berupa tautan yang bisa kita klik/kunjungi kapan saja selama ada akses internet dan browser. Sisanya, bagian terbesar gunung es yang ada di bawah permukaan laut, adalah deep web. Isinya merupakan penopang surface web, yang berupa database, password, informasi keuangan, dan sebagainya. Sementara dark web adalah bagian kecil dari deep web yang berisikan hal-hal illegal, dari mulai pembajakan, narkotika, hingga penjualan senjata.
Saat mencoba tor browser, terlihat keren sekali terutama karena bisa mengubah ip address dan membuat kita seolah-olah berada di negara lain.
Lalu kemudian muncullah bitcoin. Dengan munculnya bitcoin—mata uang digital, transaksi keuangan sekarang bisa dilakukan secara anonim. Ia bahkan memiliki pasar keuangan (trading) tersendiri. Ada dua sisi yang menarik. Dengan adanya bitcoin transaksi keuangan di dunia maya jadi sangat aman dan praktis. Dan secara konsep sangat revolusioner karena menghilangkan banyak biaya dibandingkan dengan apabila kita bertransaksi menggunakan kartu kredit atau kartu debit. Namun sisi yang lainnya, bitcoin sangat rentan digunakan untuk transaksi illegal. Karena semua transaksi berlangsung anonim dan terenkripsi dengan canggih.
Kemajuan teknologi tampaknya akan semakin bergerak eksponensial. Tidak mungkin kita hindari. Saat ini kita dalam posisi semakin bergantung terhadap internet. Kini kita berbagi banyak hal, bertransaksi jual-beli, meng-upload foto, dokumen, semua lewat internet. Semua itu sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Tak lama lagi kita akan membutuhkan internet seperti kita membutuhkan listrik.
Oleh karena itu sudah saatnya pendidikan berinternet dengan aman masuk ke dalam kurikulum sekolah-sekolah. Ada beberapa kata kunci yang penting yang menjadi perhatian: tanpa batas, semua terkoneksi, tidak aman, dan terus berkembang.
Hal pertama yang perlu dilakukan, cobalah hal berikut: Googling nama sendiri. Jika muncul data-data sensitif seperti alamat rumah, nomer telepon, nomer identitas, atau nomer rekening. Hal tersebut adalah pertanda. Betapa tidak amannya kita, karena kealpaan kita sendiri dalam berinternet.
Sumber:
Deep web: https://brightplanet.com/2014/03/clearing-confusion-deep-web-vs-dark-web/
Bitcoin: https://bitcoin.org/en/faq
Tor project: https://www.torproject.org
Saturday, October 15, 2016
Bermimpi
Pernahkah kau memimpikan hal yang sama terus-menerus?
Membuatmu penasaran sekaligus khawatir?
Apakah ada sesuatu terjadi pada alam bawah sadar kita?
Apakah terjadi sesuatu pada diri kita atau orang lain?
Bagaimana jika yang kita mimpikan berulang-ulang itu mimpi yang menyeramkan? Seperti didatangi wujud yang sama berulang, atau jatuh berulang, atau mati berulang.
Menurut berbagai keterangan, hal tersebut bisa jadi pertanda sesuatu. Secara metafisik kekhawatiran kita dapat mengundang hal-hal buruk menghampiri kita.
Mengenali pertanda, adalah hal yang termasuk bawaan dari otak manusia. Rasa takut dan cemas lambat laun menjadi stress yang kemudian membangkitkan alam bawah sadar kita dalam bentuk yang berbeda-beda. Salah satunya lewat mimpi. Salah lainnya lewat ketidakstabilan emosi.
Bahkan pada beberapa kasus mimpi itu sangat detail dan nyata, hingga perlu waktu ketika kita terbangun, apakah ini dunia mimpi atau nyata?
Mengenali pertanda bukan untuk menambah kecemasan, namun lebih untuk dijadikan kewaspadaan. Banyak pula cerita terkait arti mimpi. Para Nabi pun mengalaminya. Tafsir mimpi kini memang tidak begitu populer. Namun, banyak kisah diceritakan mengenai mimpi-mimpi tersebut. Seperti kalau mimpi ada teman yang meninggal maka teman tersebut akan panjang umur. Jika mimpi menikah maka akan terjadi jika musibah, dan lain sebagainya.
Saya selalu tertarik pada cerita orang-orang yang pernah bermimpi kemudian menjadi kenyataan. Baik itu mimpi buruk ataupun mimpi baik. Seperti kisah Nabi Yusuf a.s. yang menafsirkan mimpi Raja Qithfir.
Sang Raja bermimpi bahwasannya dia melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk di makan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan dilihatnya pula tujuh butir gandum yang hijau dan tujuh butir lainnya yang kering.
Nabi Yusuf a.s. menguraikan mimpi Raja: “Negara akan menghadapi masa makmur, subur selama tujuh tahun, di mana tumbuh-tumbuhan dan semua tanaman gandum, padi dan sayur-mayur akan mengalami masa panen yang baik yang membawa hasil makanan berlimpah-ruah."
“Kemudian masuk musim kemarau selama tujuh tahun berikutnya di mana Sungai Nil tidak memberi air yang cukup bagi ladang yang kering, tumbuh-tumbuhan dan tanaman rusak dimakan hama sedang persediaan bahan makanan, hasil panen selama masa subur sudah habis di makan.” Akan tetapi, Nabi Yusuf a.s. melanjutkan keterangannya, setelah mengalami kedua musim tujuh tahun itu akan tibalah tahun basah di mana hujan akan turun dengan lebatnya menyirami tanah yang kering dan kembali menghijau menghasilkan bahan makanan dan buah-buahan yang lezat."
Maka jika tafsiran ini menjadi kenyataan, Nabi Yusuf a.s. berkata: “Seharusnya kamu menyimpan baik-baik apa dihasilkan dalam tahun-tahun subur serta berhemat dalam pemakaiannya untuk persiapan menghadapi masa kering, agar supaya rakyat terhindar daripada bencana kelaparan dan kesengsaraan.”
Tafsir yang akurat dari Nabi Yusuf a.s. menyelamatkan kerajaan kala itu.
Dalam sains modern, mimpi masih menjadi misteri yang belum terungkap. Sebuah penelitian memperlihatkan cara kerja otak kita melihat visual mimpi, persis sama dengan cara otak kita melihat di kehidupan nyata. Bahkan kini mengendalikan mimpi jadi trend yang banyak tutorialnya. Kita bisa mengatur mau mimpi apa hingga bisa melihat diri kita sendiri yang tengah tertidur.
Apa alasan sesungguhnya kita bermimpi tampaknya akan terus menjadi misteri. Pengalaman saya pribadi kadang mimpi hal yang sama dan berulang, hingga membuat prasangka sesuatu akan terjadi. Namun sisanya hanyalah bunga mimpi yang kadang indah dan kadang tidak.
Pada akhirnya yang terpenting adalah kualitas tidur itu sendiri. Selamat beristirahat, semoga mimpi indah, dan jangan lupa berdoa.
Membuatmu penasaran sekaligus khawatir?
Apakah ada sesuatu terjadi pada alam bawah sadar kita?
Apakah terjadi sesuatu pada diri kita atau orang lain?
Bagaimana jika yang kita mimpikan berulang-ulang itu mimpi yang menyeramkan? Seperti didatangi wujud yang sama berulang, atau jatuh berulang, atau mati berulang.
Menurut berbagai keterangan, hal tersebut bisa jadi pertanda sesuatu. Secara metafisik kekhawatiran kita dapat mengundang hal-hal buruk menghampiri kita.
Mengenali pertanda, adalah hal yang termasuk bawaan dari otak manusia. Rasa takut dan cemas lambat laun menjadi stress yang kemudian membangkitkan alam bawah sadar kita dalam bentuk yang berbeda-beda. Salah satunya lewat mimpi. Salah lainnya lewat ketidakstabilan emosi.
Bahkan pada beberapa kasus mimpi itu sangat detail dan nyata, hingga perlu waktu ketika kita terbangun, apakah ini dunia mimpi atau nyata?
Mengenali pertanda bukan untuk menambah kecemasan, namun lebih untuk dijadikan kewaspadaan. Banyak pula cerita terkait arti mimpi. Para Nabi pun mengalaminya. Tafsir mimpi kini memang tidak begitu populer. Namun, banyak kisah diceritakan mengenai mimpi-mimpi tersebut. Seperti kalau mimpi ada teman yang meninggal maka teman tersebut akan panjang umur. Jika mimpi menikah maka akan terjadi jika musibah, dan lain sebagainya.
Saya selalu tertarik pada cerita orang-orang yang pernah bermimpi kemudian menjadi kenyataan. Baik itu mimpi buruk ataupun mimpi baik. Seperti kisah Nabi Yusuf a.s. yang menafsirkan mimpi Raja Qithfir.
Sang Raja bermimpi bahwasannya dia melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk di makan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan dilihatnya pula tujuh butir gandum yang hijau dan tujuh butir lainnya yang kering.
Nabi Yusuf a.s. menguraikan mimpi Raja: “Negara akan menghadapi masa makmur, subur selama tujuh tahun, di mana tumbuh-tumbuhan dan semua tanaman gandum, padi dan sayur-mayur akan mengalami masa panen yang baik yang membawa hasil makanan berlimpah-ruah."
“Kemudian masuk musim kemarau selama tujuh tahun berikutnya di mana Sungai Nil tidak memberi air yang cukup bagi ladang yang kering, tumbuh-tumbuhan dan tanaman rusak dimakan hama sedang persediaan bahan makanan, hasil panen selama masa subur sudah habis di makan.” Akan tetapi, Nabi Yusuf a.s. melanjutkan keterangannya, setelah mengalami kedua musim tujuh tahun itu akan tibalah tahun basah di mana hujan akan turun dengan lebatnya menyirami tanah yang kering dan kembali menghijau menghasilkan bahan makanan dan buah-buahan yang lezat."
Maka jika tafsiran ini menjadi kenyataan, Nabi Yusuf a.s. berkata: “Seharusnya kamu menyimpan baik-baik apa dihasilkan dalam tahun-tahun subur serta berhemat dalam pemakaiannya untuk persiapan menghadapi masa kering, agar supaya rakyat terhindar daripada bencana kelaparan dan kesengsaraan.”
Tafsir yang akurat dari Nabi Yusuf a.s. menyelamatkan kerajaan kala itu.
Dalam sains modern, mimpi masih menjadi misteri yang belum terungkap. Sebuah penelitian memperlihatkan cara kerja otak kita melihat visual mimpi, persis sama dengan cara otak kita melihat di kehidupan nyata. Bahkan kini mengendalikan mimpi jadi trend yang banyak tutorialnya. Kita bisa mengatur mau mimpi apa hingga bisa melihat diri kita sendiri yang tengah tertidur.
Apa alasan sesungguhnya kita bermimpi tampaknya akan terus menjadi misteri. Pengalaman saya pribadi kadang mimpi hal yang sama dan berulang, hingga membuat prasangka sesuatu akan terjadi. Namun sisanya hanyalah bunga mimpi yang kadang indah dan kadang tidak.
Pada akhirnya yang terpenting adalah kualitas tidur itu sendiri. Selamat beristirahat, semoga mimpi indah, dan jangan lupa berdoa.
Subscribe to:
Posts (Atom)