Friday, May 26, 2017

Kok Gak Cukup?

Heran, kenapa seringkali kejadian gak cukup.

Gak cukup bagus, gak cukup banyak, gak cukup sehat, gak cukup uangnya, gak cukup rajin, gak cukup adil, dan yang paling sering kejadian..., gak cukup waktu.

Memang sih pada akhirnya dipasrahkan saja. Kan gak cukup. Ya dipakai secukupnya saja. Tapi kan sayang hasilnya jadi tidak maksimal.

Atau memang begitukah adanya? Akankah selalu tidak cukup?

Berarti, apakah cukup itu relatif?
Apakah tergantung sudut pandang kita?

Ataukah ada standarnya, ada suatu pembandingnya hingga bisa cukup?

Seperti istriku pernah bilang, ia sudah berusaha melakukan semuanya, tapi kenapa orang lain tetap menilai itu tidak cukup?

Seperti halnya gaji bulanan, selalu ada saja kejadian, hingga jadi gak cukup.

Seperti halnya anak sekolahan, sudah belajar mati-matian tapi nilai rapornya gak pernah 100%.

Atau apakah itu terjadi karena prasangka di awal? Atau memang mismanajemen? Atau memang takdirnya begitu?

Ah, itu hanya pikiranku saja. Buktinya sampai sekarang aku masih hidup, masih sehat, masih bisa bekerja, masih bisa belajar, masih bisa makan bareng keluarga. Jadi sebetulnya cukup kan?

Karena memang Allah SWT selalu mencukupkan. Mungkin betul apa yang dikatakan guruku, hidup itu tergantung niat. Karena kebutuhan manusia itu tidak akan pernah ada habisnya. Bahkan seorang ahli ibadah pun selalu merasa ibadahnya tidak pernah cukup. Jadi niatmu apa? Maka usahakan sebaik-baiknya, serahkanlah dan ikhlaskan hasil akhirnya. Sampai akhir hayat.

Semoga hidupku ini bisa mencukupkan kehidupan orang-orang disekitarku. Aamiin.

Selamat menunaikan ibadah puasa kawan!

Sunday, May 21, 2017

Tuhan Mengetuk Pintu


Betapa sarana media sosial saat ini berlaku seperti Tuhan.

Orang-orang berdoa di sana, saling menghakimi di sana, dan saling menyebarkan ayat-ayat dari kitab masing-masing. Berlomba-lomba mencari surga Tuhan di sana.

Adakah memang sekuat itu kebutuhan seseorang untuk diperhatikan orang lain?

Seberapa seringkah kamu menyaksikan hal tersebut?

Berbagai tulisan disampaikan. Tentunya dengan berbagai niatan. Mungkin memang senangnya curhat, senang bercanda, nyindir, berpose, dan lain sebagainya. Apalah hak saya menilai semua itu. Tapi satu dua pengalaman menarik jadi hal yang seru untuk didiskusikan.

Media sosial bisa jadi perantara Tuhan yang paling kekinian. Berita apa pun begitu cepat direspon, sehingga para netizen semakin bersemangat biar statusnya atau status orang lain menjadi viral.

Butuh apa pun hampir pasti ada jawabannya. Mulai dari masalah keuangan, travelling, politik, hingga masalah pasangan hidup. Selalu ramai, dan selalu saja ada hal baru.

Setiap pemimpin, organisasi, dan perusahaan, kini memiliki media sosial. Mereka berusaha seperti Tuhan, dapat menjawab persoalan anggotanya dan pelanggannya dengan cepat dan real-time.

Ada kalanya kekuatan media sosial begitu besar, seperti tangan Tuhan sendiri yang mengetuk pintu rumahmu. Langsung muncul bantuan dari gotong royong para netizen. Luar biasa!

Kini kita bisa melihat karakter seseorang dari profil media sosialnya. Walau bukan gambaran utuh. Tapi cukup. Sehingga strategi apa pun untuk meraih massa, haruslah memanfaatkan media sosial.

Tampaknya tak berapa lama lagi kita bisa update status hanya lewat pikiran. Tak perlu bicara/menulis. Memang wajar kiranya sebagian orang seperti menuhankan teknologi.

Namun sayang semaju apa pun teknologinya jika manusia sebagai penggunanya kurang berpendidikan, maka rusaklah tangan Tuhan.

Bisa kita lihat banyak akun palsu bertebaran. Mungkin karena itu juga ada orang-orang sekarang memiliki banyak akun di satu media sosial. Bisa lebih dari 5 akun per orang. Entah untuk apa saja akun sebanyak itu.

Mungkin karena itu juga Trump menang saat pilpres Amerika. Ilmu media sosial beliau memang dahsyat.

Dakwah pun sekarang lancar lewat media sosial. Tak perlu lagi door to door, tinggal unggah maka seluruh dunia bisa melihat. Mungkin itu kunci kesuksesan ISIS. Cerdik menggunakan media sosial.

Semakin mudah berkolaborasi, semakin mudah juga berkonspirasi.

Semoga kita bisa memanfaatkan media sosial untuk mencerdaskan kehidupan dan membangun peradaban. Bukan untuk memecah belah dan saling menghakimi.

Tuesday, May 2, 2017

Membandingkan Zaman

Untuk adik-adikku yang kini tengah menjalani akhir tahun pelajaran di sekolah.

Ada yang selalu membanding-bandingkan antara generasi dahulu dan generasi sekarang, terutama melihat daya juang dan daya eksplorasi anak-anak jaman dulu dan jaman sekarang.

Banyak yang bilang, anak-anak sekarang mah payah, mudah menyerah, contoh: dikasih PR sedikit dibilang banyak, apalagi kalau dikasih banyak. Gak tahu jalan-jalan di daerah rumahnya sendiri, padahal sering jalan-jalan ke luar kota bahkan ke luar negri. Seneng pake barang luar negri dibanding produk-produk Indonesia. Kurang sopan. Temennya sedikit, banyakan virtual. Dan sebagainya. Benarkah demikian?

Saya yang dulu pernah seusiamu pun merasakan hal yang sama. Dibanding-bandingkan.

Bagaimana tidak, karena generasi bapak saya sewaktu sekolah dasarnya sempat belajar menggunakan sabak. Sebuah papan tulis kapur kecil. Jadi orang-orang jaman dulu sekolah tuh tidak bawa catatan, hanya bawa sabak. Mereka mencatat di papan tersebut, lalu setelah penuh, baca lagi sebentar, lalu dihapus. Sekolah hanya mengandalkan ingatan. Tidak ada buku catatan, apalagi Mbah Google atau Wikipedia.

Lalu kemana-mana jalan kaki, atau paling banter pakai sepeda. Ngabring sama teman-teman satu kampung. Jadi pastinya satu kampung kenal semua anaknya dan keluarganya.

Sementara saya mah belajar sudah ada buku tulis untuk mencatat, ada banyak buku di perpustakaan, dan sudah ada televisi walau cuma ada channel tvri dan rcti. Masuk tahun 90an mulai marak video games, jadi anak-anak mulai lebih sering di rumah daripada main keluar.

Jadi apakah benar daya juang dan daya eksplorasi kita menurun?

Menurut salah seorang guru saya, tidak. Karena zaman terus berubah, teknologi semakin maju, dunia semakin padat penduduknya. Yang benar itu TANTANGANNYA BERBEDA.

Saat ini begitu mudahnya kita kalau mau mencari informasi tentang apa pun. Lewat ponsel semua bisa dilakukan. Bayangkan berapa juta informasi masuk ke ponselmu setiap hari?

Coba cek tv mu saat ini ada berapa channel? Belum ditambah channel dari tv kabel.

Saat ini mau makan itu gampang banget, tinggal seduh jadi. Itu pun air panasnya lewat dispenser, gak perlu masak air dahulu.

Apalagi bermain games. Ada konsol klasik macam Nintendo snes, sampai VR game sekarang ada. Mau game apa? Tinggal unduh saja.

Mau belajar juga gak perlu repot-repot. Tinggal Googling, masuk Wikipedia, atau nonton YouTube, ada semua. Luar biasa!

Lalu tantangannya dimana?

Dapatkah kamu bayangkan, dengan begitu cepatnya teknologi, apakah ada pekerjaan yang aman kelak? Aman dalam artian tidak akan digantikan oleh teknologi.

Dengan masuknya zaman globalisasi otomatis persaingan makin ketat. Dapatkah kamu kelak bersaing dengan anak-anak dari Tiongkok, Jepang, India, Malaysia, Arab, Amerika, Afrika, dan Eropa?

"Ah, nanti mah jadi supir ojek/taksi online aja.." Pernahkah kamu mencoba seharian naik kendaraan di jalanan sekarang? Macet dan panas, belum penumpang yang nyebelin. Terus penghasilan mu berapa kalau semua orang cita-citanya sama jadi supir juga? Belum lagi kalau mobil otomatis sudah banyak dan murah. Supir gak akan dibutuhkan lagi.

"Ah, jadi artis/seniman aja.." Ini lebih menarik, karena perbandingannya hanya 1 dari sejuta yang bisa betulan jadi artis dan berpenghasilan memadai. Kalau bukan karena kerja keras dan karunia Tuhan gak akan berhasil.

Pekerjaan apa pun tidak ada yang aman. Apakah kamu memperhatikan, sekarang semua orang tuh serba terburu-buru. Pesen online harus sekarang juga sampai. Kalau chat harus sekarang juga dibalas. Kalau upload foto harus sekarang juga di-like. Kalau pesen makanan, harus sekarang juga masak. Kalau tidak bisa memenuhi permintaan pelanggan maka langsung tutup bisnisnya.

Terus lagi biaya sekolah sekarang mahalnya setinggi langit, abis gitu udah mahal-mahal hasilnya belum tentu kamu sukses. Buat apa sekolah kalau gitu?

Jadi sekali lagi tantangannya berbeda.

Tapi ada yang sama, sejak jaman batu ada yang selalu dilakukan oleh manusia hingga bisa bertahan hingga nanti akhir jaman.

Hal-hal yang sama tersebut adalah kemampuan-kemampuan dasar/life-skill yang semestinya dimiliki semua orang. Yaitu: Kemampuan bertanya, jika orang-orang jaman batu itu tidak suka bertanya/mempertanyakan sesuatu. Gak mungkin mereka berhenti jadi bangsa nomaden. Gak mungkin menetap kemudian bercocok tanam. Gak mungkin ada teknologi canggih seperti sekarang. Semua karena bertanya, what if...

Lalu kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi. Jelas tidak ada yang bisa dicapai kalau kerja sendirian. Semua pemimpin dunia, selebritis, dan pengusaha sukses, tidak akan ada tanpa kemampuan bicara, meraih kepercayaan, bernegosiasi, juga bekerja sama dalam tim, memimpin dan dipimpin. Bohong besar kalau ada yang bilang, aku sukses karena usahaku sendiri.

Terakhir adalah kemampuan berkreasi dan berinovasi. Hanya manusialah yang diberi karunia memiliki otak canggih luar biasa. Walau kadang hasil inovasinya tersebut merusak seperti senjata perang dan macam pabrik-pabrik yang berpolusi, tapi tanpa daya kreasi manusia sama saja dengan mati.

Jadi sekarang kamu bisa memilih, terus mengeluh dengan kondisimu saat ini, membiarkan rasa malas mengambil alih hidupmu. Atau bangun, mencoba menggapai mimpi-mimpimu. Membahagiakan dirimu dan keluargamu.

Walau sekarang semua serba instan. Sayangnya tidak ada kesuksesan instan. Kalaupun ada tidak akan bertahan lama suksesnya.

Akhir kata.. Selamat berjuang kawan!

#HariPendidikanNasional

Saturday, March 25, 2017

Satu Tanah Air

Hari ini saya bertemu dengan orang-orang hebat. Mereka berbagi tentang betapa indahnya keragaman. Muncul pernyataan yang menurut saya menarik, di Indonesia ini ternyata yang namanya tanah air bisa dibilang masih berupa konsep yang belum mengakar secara budaya. Berulang kali kita mendengar cerita betapa kayanya Indonesia, alamnya, budayanya, memperlihatkan keanekaragaman yang tak ada tandingannya. Akan tetapi pernyataan tersebut selalu diakhiri dengan tidak adanya kepedulian, kurangnya perhatian pemerintah, atau minimnya pengetahuan akan tempat tersebut. Semacam satu tanah air itu tidak menyatu dalam diri kita.

Hal tersebut memunculkan pertanyaan berikutnya, apakah yang bisa kita perbuat? Karena ternyata beda sekali konsep yang dipahami oleh orang-orang Indonesia mengenai tanah air itu sendiri.

Tidak perlulah jauh-jauh melihat ke pulau-pulau terluar Indonesia, saat di kelas sekolah pun kita bisa melihat keberagaman itu terjadi. Hal seperti perbedaan kemampuan, latar belakang keluarga, hingga kebiasaan sehari-hari dan agama. Konsep satu tanah air ternyata tidak cukup hanya diajarkan melalui pelajaran pendidikan kewarganegaraan, sejarah, atau upacara bendera setiap minggunya.

Atau mungkin kita memang tidak layak menjadi satu tanah air? Lebih memilih hidup dengan yang sepaham saja. Meninggalkan keberagaman.

Saya sampai tidak bisa berkata-kata, saat di internet melihat ada yang berkomentar, kalau agamamu itu agama perdamaian mengapa sepertinya ingin sekali menguasai dunia? Menjadikan dunia ini seluruhnya masuk agamamu saja. Segala cara dilakukan, bahkan negaranya sendiri dihancurkan. Mengapa? Saya tidak paham hal-hal menguasai dunia, tapi saya akui memang sulit mengelak dari pemikiran atau sudut pandang tersebut.

Jika memang demikian adanya, kita perlu berkaca, mengingat kembali, adakah kita sewaktu hendak dilahirkan bisa memilih? Memilih lahir jadi berkulit putih, jadi kuning, jadi hitam, atau lahir di keluarga muslim, di keluarga nasrani, atau keluarga dengan aliran kepercayaan?

Satu tanah air haruslah dimulai dengan keterbukaan kita akan keberagaman. Miris saat melihat ternyata yang peduli terhadap kondisi budaya dan pulau-pulau Indonesia malah warga negara asing. Lucunya saat budaya atau pulau kita yang terabaikan tersebut punah atau diambil negara lain barulah kita ribut-ribut. Mengapa demikian? Tampaknya kita masih sibuk dengan urusan perut saja.

Semoga setelah urusan perut selesai kita bisa duduk bersama, berdiskusi, apa itu tanah air...

"Di sana tempat lahir Beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata"

Saturday, March 18, 2017

Jadi Untuk Apa Sekolah?

Sebuah diskusi pagi menghangatkan cuaca dingin akibat hujan deras. Pertanyaan menarik muncul karena sekolah sebagai sarana pendidikan adalah sebuah institusi yang sejak zaman baheula hingga saat ini tidak banyak mengalami perubahan.

Dari dulu yang namanya sekolah ya duduk di kursi sambil nyatet dan dengerin guru ceramah di depan kelas.

Walaupun sekarang muncul banyak sekolah-sekolah alternatif tapi belum cukup menjawab kebutuhan dunia di zaman teknologi seperti saat ini.

Yang menarik lagi adalah sekolah yang bagus itu mahal. Pada akhirnya hanya mereka yang memiliki akses saja yang bisa menikmati pendidikan yang baik.

Di sisi lain terlihat anak-anak terpenjara oleh sekolah. Mereka dituntut untuk bisa menyelesaikan berbagai ujian demi selembar ijazah yang belum tentu berguna. Lagi-lagi hanya yang bermodal saja yang dapat memastikan anak-anaknya memiliki masa depan yang lebih pasti. Karena pendidikan tinggi itu lebih mahal lagi.

Bagi para masyarakat menengah ke bawah, kuliah itu laksana mukjizat. Tapi ikut kuliah pun tidak menjamin kehidupan yang lebih baik. Bayangkan setelah sekolah dari TK hingga S1 kurang lebih 18 tahunan, mereka harus terjebak dengan pekerjaan yang belum tentu jadi minat mereka. Karena ya mau bagaimana lagi, faktor ekonomi dan kebutuhan keluarga harus didahulukan.

Melihat kondisi saat ini, dunia dimana teknologi jadi raja, maka tidak ada satupun profesi yang bisa dibilang aman 100%.

Contohnya: dulu teknologi pengenalan wajah adalah hal yang dikatakan tidak mungkin, tapi kini teknologi deteksi wajah sudah jadi hal yang lumrah dan semakin baik akurasinya. Kendaraan tanpa supir kini mulai muncul. Lalu sudah ada toko swalayan yang tidak ada kasir, semua serba otomatis, masuk, bawa belanjaan, keluar, selesai. Teknologi dan kecerdasan buatan kini semakin mampu menyaingi manusia. Uangpun mulai berubah tatanannya dengan munculnya bitcoin (mata uang digital). Bidang seni juga tak luput dari ancaman teknologi, kini kecerdasan buatan mulai mampu membuat karya seni yang tidak kalah estetis. Saat semua teknologi tersebut jadi massal dan murah, maka tidak terbayangkan bagaimana dampaknya terhadap manusia. Profesi guru pun terancam, karena sebetulnya bisa dibilang mau belajar apa pun saat ini asalkan ada koneksi internet pasti bisa. Sekolah-sekolah konvensional akan tidak berlaku. Akan banyak orang-orang menjadi pengangguran, bukan karena mereka tidak punya keahlian, tapi karena keahlian mereka sudah diambil alih oleh teknologi.

Satu artikel dari World Economic Forum menyatakan, kita kini tengah masuk revolusi industri berikutnya, ditandai dengan masifnya teknologi dan kecerdasan buatan.

Seperti waktu revolusi industri dulu, kini revolusi teknologi datang dengan lebih dahsyat, berlaku eksponensial dan dunia pendidikan terlambat mengikutinya. Pendidikan saat ini masih berkutat dengan hapalan dan struktur rigid, yang mana jika hal tersebut tidak diubah sudah pasti manusia akan kalah oleh teknologi.

Tidak akan lama lagi, pabrik-pabrik akan menggantikan manusia dengan mesin. Maka dunia pendidikan kudu berevolusi. Fokus mesti ditekankan pada kemampuan berkolaborasi, berkomunikasi, negosiasi, berpikir kritis, kreatif, menyelesaikan persoalan dan kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi yang begitu cepat.

Nah, jika hal-hal tersebut tidak dapat teratasi, untuk apa sekolah? Apakah hanya untuk dapat ijazah? Itu pun belum tentu berguna karena persaingan akan semakin ketat dan berlaku global.

Apakah anak-anak kita kelak bisa bersaing dengan warga seluruh dunia? Apakah mereka bisa bersaing dengan teknologi dan kecerdasan buatan?

Tentunya tidak masuk akal jika semua persoalan dibebankan ke sekolah. Pendidikan harus jadi tanggung jawab semua pihak.

Kita tak bisa mundur lagi. Karena masa depan itu sudah datang sekarang.

Saturday, January 21, 2017

Mengikuti Sang Angin

2011. Adalah awal mula situasi saat ini. Saat itu banjir besar merusak kantor Bapak saya di Bekasi. Kantor yang baru berdiri langsung tutup, karena semua aset seperti komputer dan barang-barang lainnya rusak terendam banjir.

Masalah muncul karena Bapak menggadaikan rumah untuk usahanya tersebut. Jadi mulailah berdatangan orang bank menagih cicilan sementara Bapak sudah pensiun, sehingga tak ada lagi sumber pendapatan.

Satu persatu aset Bapak habis. Tapi saya takjub dengan kemampuan Bapak menghadapi berbagai persoalan lanjutannya. Juli tahun 2011 saya menikah, dan saya ingat Bapak menyumbang banyak untuk membantu saya. Lalu tak lama tahun 2012-2013 dua adik perempuan saya juga menikah. Entah bagaimana caranya Bapak bisa menyelenggarakan hajatan berturut-turut waktu itu.

Tahun 2013 Bapak dan Ibu tiri saya berangkat haji. Ibu saya tidak ikut karena Ibu tengah sakit. Dahsyatnya ketika itu Ibu merelakan uang tabungan hajinya untuk bayar cicilan utang.

Tahun 2014 sungguh mukjizat bagi saya. Di tengah berbagai persoalan, Shihab lahir dan saya bergabung dengan Semi Palar.

Enam tahun Bapak bertahan, dengan dibantu keluarga besar tentu saja. Selama itu tidak pernah satu kali pun saya melihat Bapak menyalahkan orang lain atas kondisinya saat ini.

Tahun 2016 jadi penentu banyak hal. Saat Bapak sudah habis-habisan, Ibu sakit dan harus masuk RS selama satu bulan. Kemudian akhirnya setelah perjalanan yang melelahkan Bapak harus merelakan rumah dilelang.

Saya perlu menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga, karena saya kurang bisa fokus dan tidak solutif. Bawaannya terus bersedih karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu orangtua. Mulai bulan ini insya Allah saya bisa fokus dan bekerja lebih optimal.

Sejujurnya saya katakan cerita ini belum ada apa-apanya dibandingkan perjuangan orang lain. Saya yakin setiap keluarga memiliki cerita perjuangannya masing-masing. Pada kesempatan ini ijinkan saya mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya untuk Bapak dan Ibu terkasih, yang selalu memberi inspirasi. Adik-adikku tersayang Lita-Iki, Niar-Hermis, dan spesial untuk Agni dan Gian, yang tidak pernah tidak, selalu mementingkan keluarga dibanding dirinya sendiri. Hampura Aa teu bisa mantuan nanaon.

Terakhir saya ingat pesan Bapak, hidup memang begini, kadang naik kadang turun. "Urang kudu bisa ngagilekna." Kita mesti pandai menyiasatinya, agar tetap bisa bertahan... Seperti angin.

Wednesday, January 18, 2017

Malam Ketiga

Malam ini malam ketiga anakku demam. Demam karena flu tampaknya. Semoga bukan demam berdarah atau tipus. Sepulangnya aku dari tempat kerja, istriku bertanya, "Abah, ada uang buat beli obat demam?" Sayang di sakuku hanya tinggal 15 ribu saja. Terpaksa istriku cari pinjaman. Dapatlah 50 ribu. Berjalan kaki aku menuju apotek dekat rumah. Letak apoteknya di pinggir jalan utama.

Aku jadi teringat banyak hal, betapa hidup selalu berhasil memberi kita beribu-ribu kejutan. Setidaknya begitu yang kutahu. Dari mulai hampir drop out saat kuliah, ibu yang sering kambuh sakitnya, usaha bangkrut, pernikahan, hingga menyaksikan kelahiran dan kematian.

Awal tahun ini juga, akhirnya Bapakku menyerah. Rumah yang diusahakan untuk terus dipertahankan akhirnya dijual. Rumah pertama Bapak, dari 35 tahun yang lalu. Harga jualnya tidak sesuai pasaran tentu saja, tapi karena sudah tak sanggup lagi membayar utang akhirnya Bapak relakan. Bapak bilang, baru kali ini merasakan cobaan yang begitu berat. Di masa pensiunnya, Bapak tidak bisa bersantai, malah dililit persoalan-persoalan yang konyolnya aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelesaikannya.

Jumat besok Bapak akan pindah ke rumah kontrakan. Aku baru saja dapat kabar alamat kontrakannya. Sembari membeli obat, rasanya sedih tak tertahankan. Coba aku punya rumah sendiri. Pasti aku bisa bantu orangtuaku.

Dan saat keluar apotek, aku melihat di seberang jalan, seorang ibu beserta 4 anak-anaknya sedang duduk-duduk di pinggir jalan. Satu anak ia gendong memakai kain, di sampingnya ada gerobak kecil kosong, tampaknya ia gunakan untuk mengangkut anak-anaknya dan sekaligus jadi rumah mereka.

Orang-orang disana berlaku seperti aku, hanya melewati mereka tanpa ada yang berusaha membantu. Aku jadi ingat, sebelumnya rasanya aku pun pernah melihat ibu itu beserta anak-anak dan gerobaknya.

Dan aku jadi mengerti, bahwa boleh jadi aku kurang bersyukur. Kurang menghargai waktuku, kurang memberikan usaha terbaikku, kurang memperhatikan orang-orang disekitarku. Kurang menerima keadaanku dan keluarga. Apalah gunanya kesehatanku, ilmuku, jiwaku, jika aku tidak mensyukurinya?

Tapi memang itu masalahnya bukan? Aku sering kali tidak sadar, kalau aku tidak bersyukur.

Saat masuk gang dekat rumah, aku melihat seekor kucing tengah duduk menatap jalan gang tersebut. Entah apa yang ada dipikirannya.

Aku rasa ia ingin menasehatiku, hiduplah seperti kucing, tidak pernah khawatir, hari ini atau besok bisa makan atau tidak. Hidup jalan terus. Karena urusan hidup sudah ada yang mengatur.

Sesampainya di rumah, aku ajak anakku bermain, kupeluk erat dirinya, maafkan bapakmu ini, semoga engkau lekas sembuh.