Saturday, April 22, 2023

Gerhana Matahari, Hari Bumi, Idul Fitri

Memperhatikan bulan saat berpuasa terasa berbeda. Mungkin karena saat berpuasa saya menunggu-nunggu kapan datangnya awal bulan, bulan purnama, dan akhir bulan.  

Dilansir dari laman bmkg.co.id, "Dari sejumlah fase Bulan, terdapat empat fase utama, yaitu fase bulan baru, fase setengah purnama awal (perempat pertama), fase purnama, dan fase setengah purnama akhir (perempat akhir). Periode revolusi Bulan pada bidang orbitnya dihitung dari posisi fase bulan baru ke fase setengah purnama awal ke fase purnama ke fase setengah purnama akhir dan kembali ke fase bulan baru disebut sebagai periode sinodis, yang secara rata-rata ditempuh dalam waktu 29,53059 hari (29 hari 12 jam 44 menit 3 detik)."

Berbeda dengan periode matahari, periode bulan berlangsung lebih cepat. Jika kalender matahari (masehi) penanggalannya berjumlah 365-366 hari, maka pada kalender bulan (hijriah) penanggalannya berjumlah 354-355 hari. Berbeda sekitar 10 hari. Kalender bulan juga memiliki kabisat. Tahun biasa mempunyai jumlah hari sebanyak 354, sedangkan tahun kabisat berjumlah 355 hari. Satu hari tersebut ditambahkan pada bulan Zulhijah. Pada kalender Hijriah, ditentukan 11 tahun kabisat dalam periode 30 tahun. Tahun kabisat tersebut, yaitu tahun ke-2, ke-5, ke-7, ke-10, ke-13, ke-16, ke-18, ke-21, ke-24, ke-26 dan ke-29 (kompas.com). 

Contohnya tahun 1443 dibagi 30 adalah 48 dan sisa 3. Maka tahun 1443 H adalah tahun kabisat dan tahun 1444 H adalah tahun biasa.

Bulan Ramadan tahun ini juga terasa berbeda. Selain karena PPKM sudah tidak berlaku, saya dan keluarga berpuasa di kontrakan dekat sekolah. Kegiatan-kegiatan seperti berbuka puasa bersama dan Pasar Ramadan Smipa juga kembali dilaksanakan.

Namun, yang paling menarik adalah kejadian-kejadian di akhir bulan Ramadan tahun ini. Tanggal 20 April terjadi gerhana matahari, lalu tanggal 21 April menandai hari terakhir bulan Ramadan, dan tanggal 22 April adalah Hari Raya Idul Fitri yang juga ternyata berbarengan dengan Hari Bumi.

Menghitung tanggal-tanggal adalah salah satu bagian dari budaya di keluarga. Saya ingat betul bagaimana Bapak dan Uwa menghitung hari baik untuk saya menikah, pindahan rumah, dan sebagainya. Saya sendiri kurang mengerti bagaimana cara menentukan hari baik tersebut, tapi Bapak sangat yakin dengan hal tersebut. Beliau selalu bilang, semua hari itu baik, tapi ada hari yang terbaik. Walaupun sayang ilmu hitung-menghitung tersebut tidak menurun ke anak-cucu, karena buku kitabnya sudah hilang bersamaan dengan wafatnya Uwa.

Gerhana matahari adalah tanda-tanda alam, berkat pola orbit matahari dan bulan yang teratur kita dapat dengan akurat memperhitungkan kapan terjadi gerhana, atau kapan lebaran akan terjadi tahun depan. Berkat memahami pola tersebut, kita juga dapat menentukan kapan waktu yang tepat untuk bercocok tanam, hingga kapan panen tiba. Kapan harus pergi melaut agar dapat ikan yang melimpah, dan kapan harus berlabuh. Jadi wajar jika orang-orang zaman dulu sampai membuat kalender untuk menentukan hari baik, karena semuanya berpola. 

Pola ini juga berlaku supaya kita bisa menjalani hidup dengan lebih baik. Bapak berpesan, menjalani hidup itu harus dengan ilmunya. Kita mungkin hidup susah atau miskin, tapi dengan ilmu, kita akan bisa memperoleh kebahagiaan.

Kuncinya adalah dengan terus berbuat baik. Resep untuk bahagia di dunia dan akhirat adalah berbuat baik kepada orang tua, kepada keluarga, kepada orang lain, dan kepada bumi. 

Pesan yang sama yang selalu dikumandangkan oleh para alim ulama. Memasuki bulan baru, yaitu bulan Syawal, semoga kita semua diberikan kekuatan dan kemudahan untuk senantiasa berbuat kebaikan.


Sumber: 

BMKG

Kompas

Thursday, January 21, 2021

Mengapa Beberapa Materi Pelajaran Itu Sulit?

Pengalaman saya, karena kita kurang bisa menemukan kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Sehingga saat diberi materi tersebut di kelas seringkali hanya lewat saja. Kalaupun ingat hanya sebentar, besoknya langsung lupa.

Maka bersyukurlah kalian yang mendapat guru-guru galak/tegas yang memberikan banyak kesan saat pembelajaran di kelas. 🙂

Yang paling sulit adalah saat kita bertemu guru yang cuma bahas latihan soal dari buku, atau datang ngasih tugas terus pergi ninggalin kelas. Jadi kita sebagai murid kudu bisa belajar mandiri.

Jangan salah, kemampuan belajar mandiri ini penting, karena saya saja yang sudah lulus kuliah, dan bekerja, geningan tetep we kudu belajar. Selalu ada persoalan baru, yang mengharuskan kita terus belajar sepanjang hayat.

Nah, kita ambil contoh: materi pelajaran pecahan.

Saya ingat pernah berdiskusi dengan teman, “mengapa anak-anak sulit memahami pecahan/desimal?”

Jawabnya, karena di Indonesia kita tidak mengenal mata uang pecahan. Bandingkan dengan negara lain, contohnya negara Amerika, mereka mengenal sen. Dimana 100 sen = 1 dollar. Jadi anak-anak sudah biasa, merasakan sehari-hari kalau 1/2 dollar itu = 100/2 = 50 sen.

Atau 25 sen = 25 : 100 = 1/4 dollar.

Memang secara budaya berbeda. Jadi wajar kalau anak-anak kesulitan. Belum ditambah gurunya yang kadang ‘teu bisaeun’ menjelaskan.

Akhirnya, triknya adalah kamu harus berdiskusi, bisa dengan guru atau teman atau orangtua. Bagaimana supaya dapat menemukan hubungannya, materi-materi pelajaran, dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kalau masalah pecahan, saya kira itung-itungan belanja buah/sayur ke pasar, yang paling dekat dengan kita.

Jika 1 ekor ayam, bisa dijadikan 9 potong. Kita bisa bilang, satu potongnya itu 1/9 ayam.

Nah, kita bikin lebih menarik, 9 potong itu adalah: bagian kepala, dada, punggung, 2 sayap, 2 paha, 2 ceker. Jika berat 1 potong dada = 2 potong bagian yang lain, terus total berat ayam adalah 3 kg. Berapa berat 2 sayap + 1 paha?

Dengan cara seperti itu, materinya jadi lebih ‘nyambung’ sekaligus menantang.


Contoh yang lain nih: materi IPS tentang Sumpah Pemuda. Jika hanya mendengarkan/membaca kisahnya dari buku pelajaran, kita hanya akan dapat sedikit. Tapi kalau berhasil mencari dongeng/cerita khas, kita akan bisa ingat lebih lama. Risetlah sungguh-sungguh, supaya dapat kisah-kisah unik dibalik suatu peristiwa.

Tahukah kamu, bahwa dalam ikrar sumpah pemuda, selain sumpah satu satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, terdapat kalimat tentang kepanduan (kini gerakan pramuka). Lengkapnya adalah: putusan Kongres Pemuda II yang konsepnya ditulis oleh Mohammad Yamin dan disetujui oleh pimpinan rapat, Soegondo, menulis sedikitnya ada lima dasar yang dapat memperkuat persatuan Indonesia, yaitu kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan.

Jangan lupa juga, dengan mempelajari sejarah, kita sebenarnya tengah mempersiapkan masa depan. Seperti kata Bung Karno, JASMERAH, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah.

Memang banyak sih, pelajaran-pelajaran yang cuma dipakai untuk ujian saja. Untuk materi pelajaran tersebut, percayalah, suatu hari nanti pasti ada gunanya. Hehehehehe.



Bagaimana Pendidikan Holistik?

Dengan latar belakang pernah mengikuti Kursus Pembina Pramuka Mahir tingkat Lanjut, saya mengetahui bahwa yang namanya pendidikan itu tidak bisa dikotak-kotakkan. Kalau ingin membentuk regu yang ideal, maka semua aspek harus diperhatikan, dari mulai kecakapan (SKU/SKK) setiap anggota, manajemen regu, kemampuan pembina, hingga support dari orangtua. Gerakan Pramuka dengan prinsip dasar dan metode-metodenya diharapkan bisa secara utuh melahirkan Warga Negara Indonesia yang baik.

Mengutip dari Anggaran Dasar Gerakan Pramuka, pasal 8 dan 9:

Prinsip Dasar Kepramukaan meliputi:

  • iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  • peduli terhadap bangsa dan tanah air, sesama hidup dan alam seisinya;
  • peduli terhadap diri pribadinya; dan
  • taat kepada Kode Kehormatan Pramuka.

Metode Kepramukaan

(1) Metode Kepramukaan adalah metode belajar interaktif dan progresif yang dilaksanakan melalui:

  • pengamalan Kode Kehormatan Pramuka;
  • belajar sambil melakukan;
  • kegiatan berkelompok, bekerjasama, dan berkompetisi;
  • kegiatan yang menarik dan menantang;
  • kegiatan di alam terbuka;
  • kehadiran orang dewasa yang memberikan bimbingan, dorongan, dan dukungan;
  • penghargaan berupa tanda kecakapan; dan
  • satuan terpisah antara putra dan putri;

(2) Dalam menjalankan Metode Kepramukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan Sistem Among dan Kiasan Dasar.

Dari kutipan tersebut, untuk menjalankan proses pembinaan, kata kuncinya ada dalam kalimat terakhir, yaitu Sistem Among. Ya, betul sekali, walaupun Gerakan Pramuka mengambil bentuk dan menginduk kepada organisasi kepanduan dunia, dalam hal ini WOSM (World Organization of the Scout Movement), namun para pembina ternyata wajib menerapkan kearifan lokal hasil pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Ing ngarso sung tulodo; ing madyo mangun karso; tut wuri handayani.

Sebuah konsep pendidikan holistik asli Indonesia. Pendidikan yang mengutamakan hubungan manusia, diatas materi-materi pelajaran. Dan memang betul begitulah adanya, saat kita bisa membangun koneksi yang baik, antara semua pemegang kepentingan, maka kurikulum apa pun bisa dengan optimal diproses oleh peserta didik. Menjadi sia-sia, metode-metode/teknologi canggih, kalau diberikan tanpa koneksi/memanusiakan para pendidik dan peserta didiknya.

Ki Hadjar Dewantara (Gambar: wikimedia.org)

Sudahkah kita menyapa setiap anak yang kita bina/didik?

Sudahkah kita mengusahakan mengenal lebih jauh latar belakang anak-anak kita?

Berapa banyak waktu yang kita luangkan untuk membangun koneksi dibandingkan memberi ceramah tentang materi pelajaran?

Seberapa sering para pendidik kita bekolaborasi?

Di masa depan, pendidikan tidak akan eksklusif jadi milik sekolah. Semua hal akan bisa dipelajari secara online berkat kecanggihan teknologi. Seperti mie instan, mudah dan cepat. Namun dampaknya, kita akan punya anak-anak yang tidak paham proses, tidak tahu cara membangun relasi, tidak bisa bekerja sama, tidak tahu cara mengelola emosi, tidak paham empati dan simpati.

Sayangnya saat ini, semua sibuk standarisasi, sertifikasi, akreditasi, dan asi-asi lainnya. Tapi lupa, sistem pendidikan yang paling bagus pun akan jadi tidak berarti tanpa manusianya. Pendidikannya tinggi, tapi tidak punya hati.

Pendidikan adalah pekerjaan rumah kita bersama. Sudah saatnya para pendidik kembali ke ruhnya. Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberikan dorongan.



Sistem Among

Dalam praktiknya, sistem among perlu diterapkan secara berimbang. Dalam Gerakan Pramuka, sistem among itu dibagi ke dalam tiga golongan usia, yaitu siaga (7-10 tahun), penggalang (11-15 tahun), dan penegak (16-20 tahun). Saya tidak memasukkan golongan pandega, karena menurut saya usia 21 tahun ke atas sudah tidak layak disebut sebagai peserta didik. Sederhananya sistem among dalam Gerakan Pramuka dilukiskan seperti diagram berikut:




Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi teladan), menjadi pondasi bagi setiap golongan. Tanpa keteladanan, pendidikan akan menjadi sia-sia. Namun, di lapangan inilah hal yang paling sulit dijalankan. Bagaimana tidak, semisal ingin mendidik anak menjadi rajin, hadir tepat waktu, tapi kita sebagai pendidik sering absen, datang terlambat, maka pasti ajakan kita supaya anak rajin akan dipandang sebelah mata oleh mereka. Atau jika ingin anak-anak tidak merokok, ya jangan harap berhasil kalau kita sebagai pendidiknya/orangtua memberi teladan suka merokok.

Kemudian dua konsep yang lainnya, dijalankan secara bertahap pada setiap golongan. Untuk golongan siaga, ing madyo mangun karso (di tengah membangun semangat), menjadi bagian yang lebih utama dibandingkan tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan). Karena pada usia siaga, karsa/semanagat/kemauan adalah kata kunci bagi mereka. Kegiatan-kegiatan penuh cerita, nyanyian, gerak, dan permainan, adalah warna kegiatan siaga.

Untuk golongan penggalang, membangun semangat dan memberi dorongan, dijalankan dengan porsi yang kurang lebih sama. Pada usia penggalang, anak-anak tengah merasakan masa puber serta membangun kemampuan nalar mereka. Kegiatan-kegiatan beregu, seperti berkemah yang mengasah kemampuan bersosialisasi dan sekaligus mengasah kemandirian, jadi kunci agar anak-anak dapat melewati fase ini dengan baik.

Untuk golongan penegak, memberi dorongan dari belakang, lebih diutamakan. Anak-anak diharapkan telah memiliki kemampuan memotivasi serta semangat yang cukup dari dalam diri. Kegiatan-kegiatan yang berhubungan langsung dengan masyarakat, seperti kemah bakti atau kegiatan SAR, akan menantang anak-anak untuk memberikan yang terbaik.

Perlu dicatat, Gerakan Pramuka ini murni berbasis usia, jika misalkan seorang anak baru bergabung di usia 12 tahun, walau ia belum pernah ikut kegiatan siaga, maka ia tetap masuk golongan penggalang. Pun demikian jika ternyata ia kesulitan untuk menuntaskan SKU – Syarat Kecakapan Umum (semacam penilaian kemampuan anak), ketika ia menginjak usia 16 tahun, ia otomatis pindah kedalam golongan penegak. Tidak ada istilah tinggal kelas, karena memang tidak ada kelasnya.

Sungguh menarik, bagaimana sistem among ternyata masih relevan dengan kondisi saat ini. Jika kita ingin menciptakan tunas-tunas bangsa yang unggul, maka dalam kesehariannya seorang pendidik wajib mengimplementasikannya dalam kegiatan sehari-hari. Kemajuan teknologi kita perhatikan melipatgandakan tingkat kesulitan mendampingi anak-anak. Sulit fokus, menunda-nunda pekerjaan, dan kesulitan bersosialisasi, adalah beberapa persoalan anak-anak saat ini. Dengan menguatkan sistem among, diharapkan kesulitan-kesulitan tersebut dapat kita atasi.

Pada akhirnya, prinsip-prinsip sistem among hanya akan menjadi pajangan belaka tanpa struktur dan program kerja yang mendukung. Bagaimana supaya bisa diterapkan dalam kegiatan sehari-hari? Kita akan coba bahas di artikel berikutya.

”Manusia merdeka yaitu manusia yang hidupnya tidak tergantung pada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.”
Ki Hadjar Dewantara

Tuesday, January 19, 2021

Lelah

Pernahkah kamu bertanya, saat pagi datang, dan kamu terbangun dari tidur, lalu membuka mata, mengapa saya masih diberi kesempatan untuk hidup? Apakah akan ada bedanya saya bangun atau tidur untuk selamanya?

Beberapa hari belakangan ini, pertanyaan itu kerap muncul. Perasaan tidak bermanfaat, seperti hanya membuang-buang waktu saja setiap harinya.

Tampaknya depresi mulai datang menghantui. Mungkin efek dari terus bekerja dari rumah.  

Saya terus berusaha meyakinkan diri, hari ini akan jadi lebih baik. Walaupun di akhir hari, ternyata hasilnya sama saja. Tidak jadi lebih baik.

Mungkin butuh tantangan baru, mungkin karena persoalan-persoalan masa lalu yang tidak tuntas sampai sekarang. 

Sebagai anak yang tertua, ternyata saya tidak bisa membantu apa-apa. Saya hanya bisa bersedih saat melihat ibu dan bapak menangis.

Saya juga masih belum bisa melunasi hutang-hutang saya. Jika bukan karena kebaikan orang-orang, entah bagaimana bisa menghidupi keluarga sendiri.

Satu-satunya hal yang membuat bertahan adalah karena saya percaya hidup ini sesungguhnya hanya senda gurau saja. Tempat bermain hingga waktunya nanti berpulang. Mungkin berat, tapi selalu ada orang lain yang hidupnya lebih berat.

Namun sisi depresinya adalah mengapa orang lain tersebut tampak berhasil keluar dari kesulitan-kesulitannya? Sementara saya selalu gagal.

Jadinya sangat melelahkan, kok seperti tidak bersyukur. Tidak ikhlas menerima takdir.

Hasilnya sulit sekali untuk fokus, inginnya menghindar terus dari kenyataan. Mengalihkan diri dengan scrolling media sosial, dan mengerjakan hal-hal tidak penting lainnya.

Entahlah apa yang sebenarnya harus dilakukan. Hingga pada akhirnya saya jadi sering bertanya, apa yang harus saya lakukan? Mengapa berat untuk bisa berubah? Untuk mengubah nasib, tentunya harus mengubah diri.

Malam ini semoga saya bisa menemukan jawabannya. 

Karena sesungguhnya kita ini manusia hanya penumpang di dunia ini. Dunia ini tidak butuh manusia. Manusialah yang membutuhkan dunia. Kita tidak ada pun tidak apa-apa.


"Apa guna keluh kesah, apa guna keluh kesah...

Pramuka tak pernah bersusah, apa guna keluh kesah..."


Tuesday, October 6, 2020

Hari Guru

Saya baru tahu kini ada hari guru dunia. Di sosmed bertebaran meme tentang pentingnya mengapresiasi peran seorang guru. Salah satu posting di sosmed sampai mengistilahkan peran guru itu esensial, tanpa guru maka profesi-profesi lain di dunia ini tidak akan ada.

Bicara masalah guru dan dunia pendidikan ini tidak akan ada habisnya. Sejujurnya dengan pandemi Covid-19 sekarang ini kita perlu bersyukur jadi banyak angin segar perubahan di dunia pendidikan Indonesia, walaupun kita belum tahu apakah perubahan-perubahan tersebut akan berhasil menembus tekanan-tekanan politik yang ada.

Kemudian saat ini kita melihat dengan pembelajaran jarak jauh, semua orang khususnya orangtua mesti berperan juga jadi guru. Pepatah Afrika lama dibutuhkan satu desa untuk membesarkan seorang anak, seperti membuktikan setiap elemen masyarakat harus berperan dalam membentuk pendidikan anak-anak Indonesia. Peran guru itu memang esensial.

Namun hasil survey singkat saya, sangat-sangat sedikit kalau tidak mau dibilang tidak ada, anak-anak jenjang SMP yang cita-citanya menjadi guru. Saya sendiri pun tidak bercita-cita menjadi guru. Karena jadi guru itu sulit sekali. Mirip-mirip artis idola atau tokoh politik yang harus senantiasa melakukan pencitraan/terlihat baik di depan orang-orang. :) Mengapa ya profesi guru ini kurang diminati? Jangan-jangan ada trauma dari anak-anak sewaktu mereka sekolah dulu. Atau mungkin melihat profesi guru tidak menjamin kehidupan yang baik.

Saya pun bertanya lebih lanjut kepada anak-anak, hasilnya menarik, menurut mereka sangat berat jadi guru itu, apalagi kalau harus mengajar anak-anak macam mereka. Sudut pandang yang reflektif, memang tidak semua orang itu bisa menjadi guru, mesti ada kesadaran serta kemauan yang kuat untuk mau terus belajar hal-hal baru, dan bersabar mendengarkan anak-anak serta orangtua.

Bisa jadi pada masa depan karena tidak ada yang mau jadi guru lagi, anak-anak di didik oleh AI (kecerdasan buatan) lalu ditentukan kompetensinya oleh algoritma, cocok kerja sebagai apa. Tidak akan ada lagi sekolah/universitas, karena semua bisa dilakukan secara online.

Tetapi saya kira pada satu titik semua orang membutuhkan seorang guru/mentor dalam hidupnya. Yang membantu kita menemukan hal-hal penting dalam hidup. Rasanya peran ini sangat sulit bisa digantikan oleh mesin. 

Saya ingat baru setelah Shihab putra saya lahir, saya melihat kebutuhan untuk memahami tumbuh kembang anak, pedagogi, konsep-konsep pendidikan, lalu menyadari betapa mahalnya biaya pendidikan saat ini. :) Dan akhirnya berjodoh dengan Semi Palar, yang kebetulan membutuhkan Kakak SMP. Berbekal pengalaman sebagai pembina pramuka, jadilah hingga kini saya menjadi bagian dari Semi Palar.

Di momen teacher day ini, saya ucapkan tetap semangat kepada sesama rekan pengajar! Tetap optimis selalu ada cara untuk bisa memantik semangat belajar anak-anak. Kepada sesama rekan orangtua terima kasih atas segala upaya dampingannya memastikan anak-anak tetap memiliki nilai-nilai keluarga yang luhur.

Setiap niat dan perbuatan baik kita sekecil apa pun yakinlah pasti berdampak pada kehidupan anak-anak, saat ini dan nanti.


Tuesday, March 31, 2020

Hantu Masa Lalu


"Bah, tolong beliin gas, tadi lagi masak air terus gasnya  habis."
"Sebentar Mbu, ini lagi beresin file dulu."

Hari ini menjelang Maghrib, Ambu minta tolong untuk dibelikan gas. Sudah dari sore hujan turun cukup deras. "Jangan lupa bawa payung." Sejak masa kerja di rumah, rasanya sudah lama sekali saya berjalan kaki ke luar. Mungkin sore ini saya dipaksa untuk sedikit berolahraga.

Sambil membuka payung dan menenteng gas 3 kg kosong, saya jalan menuju warung dekat rumah. Jaraknya dekat hanya 5 menit dari rumah. Banjir pikiran mulai merasuk, hari ini sudah 1500 lebih korban covid-19. Tapi bukan itu yang jadi pikiran, karena tiap hari terus-terusan dibombardir berita wabah covid-19, sangat sulit untuk tidak otomatis memikirkannya. Sesampainya di warung ternyata warungnya tutup. Saya coba mengetuk siapa tahu bapak/ibu yang punya warung masih ada di rumah. "Punten..." Beberapa kali mengetuk, ternyata tidak ada yang menyahut. Azan Maghrib berkumandang. Dan hujan makin deras.

Hari ini mengapa saya merasa takut? Mungkin bawaan lahir saya penakut? Saya coba menghilangkan pikiran tersebut.

Saya putuskan untuk mencari gas di warung lain. Karena hidup di kecamatan terpadat Kota Bandung, yang namanya warung itu selalu bisa kita temui di setiap belokan. Saya coba berjalan ke arah sungai, di sana kata Ambu ada dua warung yang juga jualan gas.

Takut apa? Saya coba mengingat-ngingat. Takut kena covid-19? Rasanya bukan. Walaupun memang ngeri kalau beneran sampai kena. Sejak awal tahun perasaan ini kerap muncul. Kelebatan ingatan terus datang dan pergi.

Sesampainya di warung tepi sungai, ternyata gasnya habis. Saya pergi ke seberang sungai, sama ternyata gasnya juga habis. Lumayan nih, olahraga angkat beban. Hehe. Saya putuskan berkeliling lagi mencari warung yang menjual gas.

Mungkin saya takut menerima kenyataan. Bahwa saya tidak mampu, tidak  becus jadi orang. Saya ingat, satu hari Ambu bilang, "Bah, makanan habis, gak apa-apa sih untuk kita mah, bisa puasa. Tapi untuk anak-anak gimana?" Lalu ingat kala bapak mengirimkan sms minta tolong untuk ditransfer uang untuk beli obat.

Tapi hal itu kan sepele. Orang lain, bahkan lebih susah. Sementara saya dan keluarga alhamdulillah masih sehat. Bahkan saat tersulit pun saya selalu bersyukur selalu ada yang menolong. Allah Swt. selalu baik kepadaku dan keluargaku.

Satu hal yang pasti saya sangat sering melakukan kebodohan. Akibatnya saya jadi banyak utang. Selain utang uang, juga utang janji. Entah bagaimana menebusnya. Ngeri rasanya membayangkan kelak saat meninggal, keluarga malah direpotkan oleh utang-utang saya tersebut.

Kenapa malah jadi banyak mengeluh? Utang saya kan gak seberapa, gak sebesar utang negara.

Setelah berkeliling, saya ternyata sudah kembali ke jalan tempat warung yang pertama, tanpa hasil. Hujan masih deras, payung tak mampu meladeni derasnya hujan. Saya akhirnya mencoba lagi datang ke warung tersebut. Alhamdulillah ternyata warungnya buka. Bapak yang punya warung tadi sepertinya lagi salat, jadi tutup dulu. Sambil memberikan uang untuk bayar gas, saya tersadar, bahwa pikiran-pikiran itu adalah hantu masa lalu. Pikiran-pikiran itu yang membuat saya takut sendiri.

Sambil basah kuyup, tangan kanan memegang payung, dan tangan kiri menenteng gas saya berjalan pulang.

Hantu masa lalu itu memang menakutkan, semakin dipikirkan semakin ia menjadi kenyataan. Ia  akan terus datang dan menghabisi harapan hari ini. Betul tidak ada yang tahu hari esok itu akan seperti apa. Betul juga banyak hal bodoh yang saya lakukan, yang membuat saya dan keluarga seperti sekarang. Tapi masa lalu tidak akan bisa kita ubah.

Semakin dipikir malah semakin tidak ketemu jawabannya. Ya sama lah dengan kasus wabah covid-19 sekarang. Kita ternyata seringkali tidak belajar dari masa lalu. Masa pandemik sudah pernah kita alami, tapi setiap masa pandemik itu muncul, kita selalu tidak siap.

Sejak banyak kabar simpang siur tentang diam di rumah, karantina wilayah, dsb. Malah membuat banyak orang pulang kampung. Karena memang sulit, tinggal di kota besar malah rugi, gak cukup penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari. Daripada kelaparan ya mending pulang kampung. Walaupun resikonya malah jadi pembawa virus covid-19 ke kampung halaman.

Manusia memang makhluk egois. Saya pun sama saja. Dari awal diduga kuat virus ini muncul karena manusia tidak bisa menjaga keseimbangan alam. Kelak jika wabah ini usai, kehidupan akan kembali normal, dan manusia kembali merusak alam. Lupa baru saja kemarin telah terjadi wabah pandemik. Hantu masa lalu, menjelma jadi hantu masa depan.


"The Sound Of Silence"

Hello, darkness, my old friend
I've come to talk with you again
Because a vision softly creeping
Left its seeds while I was sleeping
And the vision that was planted in my brain
Still remains
Within the sound of silence

In restless dreams I walked alone
Narrow streets of cobblestone
'Neath the halo of a streetlamp
I turned my collar to the cold and damp
When my eyes were stabbed by the flash of a neon light
That split the night
And touched the sound of silence

And in the naked light I saw
Ten thousand people, maybe more
People talking without speaking
People hearing without listening
People writing songs that voices never share
No one dared
Disturb the sound of silence

"Fools," said I, "You do not know
Silence like a cancer grows
Hear my words that I might teach you
Take my arms that I might reach you."
But my words like silent raindrops fell
And echoed in the wells of silence

And the people bowed and prayed
To the neon god they made
And the sign flashed out its warning
In the words that it was forming
And the sign said, "The words of the prophets
Are written on the subway walls
And tenement halls
And whispered in the sounds of silence."