"Kenapa abah mau nikah sama Ambu?" Sebuah pertanyaan yang diajukan istriku lima tahun yang lalu yang sampai saat ini masih belum bisa saya jawab dengan betul. Tidak cantik, lebih tua, dan tidak-tidak yang lainnya, jadi alasan istriku bertanya.
Walaupun saya banyak mempunyai tidak-tidak yang sama, tidak ganteng, lebih muda, dan tidak-tidak yang lainnya. Pertanyaan yang serupa pun muncul, kenapa istriku mau menikah denganku?
Lima tahun menikah dan saya masih tidak tahu. Mungkin memang tidak akan pernah bisa saya jawab. Tapi seperti limit dalam matematika, hal tersebut bisa didekati.
Dapatkah saya mendefinisikan cinta?
Dengan limit, artinya kita harus melakukan pendekatan dari kanan dan kiri, jika ia bisa didekati dari kanan dan kiri, serta jika ia memiliki hasil yang sama, maka limit tersebut artinya ada.
Dengan cinta pun demikian, dari segala perbedaan, pasti ada persamaan-persamaan. Dan yang menarik adalah persamaan-persamaan ini muncul seiring waktu. Bisa dalam bentuk hal yang memang sama persis, atau hal-hal lain yang diterima apa adanya oleh keduanya.
Mungkin sewaktu awal, yang dilihat adalah yang indah-indahnya saja. Karena memang begitulah adanya. Tapi waktu selalu menyadarkan kita, bahwa tidak mungkin indah terus. Akan ada masa sakit, sakit pinggang terutama, kemudian muncul uban dan keriput, juga tangisan ditinggalkan keluarga terdekat.
Konflik pasti akan selalu muncul, dari mulai cucian, makanan, berita tv, hingga urusan anak.
Saya ingat sebelum menikah, uwa almarhum (kakak dari ayah saya) membuat hitung-hitungan berdasarkan nama dan tanggal lahir saya dan istri. Hasilnya keluarga kami insya Allah harmonis, tapi hati-hati akan sering besar pasak daripada tiang, katanya. Saya mengangguk-angguk, menghormati kebijaksanaan beliau. Dan benar, sampai saat ini selalu ada kejadian di keluarga yang membuat keuangan jadi besar pasak daripada tiang.
Toh saya dan istri tidak pernah ragu. Walau ia sering juga khawatir, selain masalah keuangan, juga karena saya seperti jadi bujangan lagi kalau meninggalkan rumah. Senang melihat yang ayu-ayu.
Dari mulai lamaran, hingga kini punya anak, kami tidak ragu. Semua perbedaan serta konflik selalu bisa dibicarakan. Istriku kadang juga menangis, kesal dengan saya. Gak ngerti-ngerti aja, katanya. Saya pun sering kesal dengan diri saya sendiri. Memang kerap terjadi saya gagal paham akan perasaan istri sendiri.
Jadi cinta bagi saya memang sulit untuk didefinisikan. Istriku mungkin melihat sosok pemimpin pada diri saya. Sementara saya melihat, sosok wanita perkasa, yang tangguh, dan 'hot', yang akan jadi seorang istri sekaligus ibu yang baik.
Untuk saya cinta adalah kompromi. Kompromi antara harapan dan kenyataan. Saat harapan mendekati satu titik yang sama dari kanan, dan kenyataan mendekatinya dari kiri. Titik yang sama yang dilihat saya dan istri.
Titik-titik tersebut muncul sepanjang perjalanan hidup.
Saya menikahi Ambu, karena saya ingin melihat titik-titik kehidupan bersama Ambu saja.
No comments:
Post a Comment