Hari Senin tanggal 19 hingga Kamis tanggal 29 September, istri saya berangkat ke Bogor bertugas untuk PON, ditugaskan untuk jadi announcer cabang olahraga atletik. Artinya 11 hari saya mesti full bersama putra saya, yang baru berusia dua tahun, 24 jam penuh.
Hari ini persis 6 hari, saya bersama putra saya bekerja sama, berusaha lebih memahami satu sama lain, dan saling mengisi kekosongan tokoh ibu sekaligus istri.
Bersyukur saya bekerja di tempat yang mengijinkan saya membawa putra saya. Tentunya dengan segala pertimbangannya.
Hari Senin, jadi hari paling seru. Tampak berat istriku meninggalkan putranya bersama saya yang seringkali kurang perhatian. Lebih fokus pada yang lain seperti gawai, dibanding dengan anaknya sendiri. Ia jadi sangat khawatir, gimana nanti makannya? Gimana kalau sakit? Gimana nanti tidurnya? Dan seterusnya.
Jadi panik, karena mestinya ia baru berangkat hari Kamis/Jumat bukan Senin. Rencana persiapan pun jadi berantakan.
Ditambah adikku yang bisa bantu, sakit, juga karena PON. Mengurus pembukaannya.
Alhasil dengan nekat saya bawa putra saya ke sekolah. Jalan kaki, naik turun angkot, jalan lewat jembatan penyeberangan, hingga akhirnya tiba di sekolah.
Sejak pamit dengan ibunya, putraku terus menempel seperti perangko. Di tinggal sebentar langsung mencari. Tapi ajaib, siang hari ia bisa tidur, malam juga bisa. Tanpa rewel berlebihan. Padahal biasanya harus dengan air susu ibunya.
Rasa syukur, terus hadir. Bantuan dari sesama kakak, teman-teman di kelas, kakek dan tantenya, meringankan sangat beban ini.
Saya tahu tugas ibu itu berat. Sekarang saya bisa memahami, bagaimana rasanya mengurus anak sendiri, sekaligus mencari nafkah sendiri.
Baru 6 hari, saya sudah mulai flu. Kondisi cuaca juga kurang mendukung. Setiap sore, pulang sekolah, naik angkot menuju stasiun kereta api, sering diiringi hujan deras. Walau sudah bawa jas hujan, tetap saja basah dan lelah, adalah kombinasi yang selalu berhasil membuat flu.
Masih sisa lima hari lagi. Saya masih bisa menghitung sisa hari. Bagaimana dengan mereka yang belahan jiwanya sudah tidak ada? Apa yang di hitung?
Untuk para single parent, ini memang berat, dan efeknya akan selalu muncul pada diri anak. Jangan pernah malu untuk meminta bantuan. Semoga Tuhan selalu melindungi.
Saturday, September 24, 2016
Saturday, September 10, 2016
Membalikkan Waktu
Saya sangat tertarik dengan teori time travel, menjelajah
waktu, bahwa kita bisa kembali ke masa lalu melalui lubang cacing, bahwa alam
semesta itu tidak satu, tapi multiverse. Sangat menakjubkan apabila kita dapat
kembali ke masa lalu. Kemudian teori big bang, penciptaan alam semesta, betapa
kita hanyalah setitik debu di dalam penciptaan tersebut. Lalu berbagai teori
tentang bumi dan manusia, yang tak kalah menakjubkannya.
Begitu banyak misteri, namun begitu sedikit waktu yang
dimiliki. Lucunya saat beranjak dewasa, ketertarikan itu sedikit demi sedikit
memudar, satu per satu penyesalan datang, karena ternyata kehidupan orang
dewasa begitu berbeda dengan bayangan saat masih sekolah dulu.
Buat apa sekolah? Jika ternyata hanya untuk jadi pekerja
yang tidak sesuai dengan panggilan jiwanya. Hilanglah keseimbangan antara mind,
body, and soul. Setiap hari melakukan aktivitas yang sama yang menjemukan
hingga akhirnya segala kemampuan dan kreativitas terpendam dalam-dalam.
Buat apa sekolah? Sekolah hanya jadi tempat menciptakan
robot-robot penurut, manusia pekerja, yang bekerja tidak sesuai dengan
kemampuan dan passionnya. Manusia penakut, yang dinilai berdasarkan hasil
akhir, yang penting dapat nilai bagus tak peduli itu hasil mencontek/menyuap.
Buat apa sekolah? Karena manusia pekerja tidak membutuhkan
banyak kreativitas, semua sudah ada SOP-nya, cukup ikuti standar baku yang ada,
persis seperti robot. Dan perusahaan akan mendapatkan hasil standar.
Kita butuh mesin waktu, untuk memperbaiki carut-marut
pendidikan di negara Indonesia ini. Begitu banyak salah kaprah menyedihkan,
yang semestinya bisa diperbaiki dari saat menginjak bangku sekolah.
Setiap anak adalah makhluk unik yang memiliki kemampuan dan
passion yang berbeda-beda. Tugas sekolah semestinya menggali itu dan memolesnya
hingga seorang anak dapat memaksimalkan dirinya.
Tidak ada sistem pendidikan yang sempurna, tapi kita dapat
terus mendekati kesempurnaan itu.
Pengalaman saya di dalam dunia kepramukaan, sejak tahun 1995
hingga sekarang, memperlihatkan permasalahan yang dihadapi anak-anak pada
umumnya sama. Tetapi tantangan anak-anak sekarang lebih berat, dan akan semakin
berat.
Tantangan utama adalah semakin tipisnya batas-batas
informasi di seluruh dunia. Semua begitu terhubung, hingga bahkan anak TK pun
sudah mengerti internet. Dulu kasus pornografi dimulai kebanyakan masa SMA,
saat ini anak SD pun sudah mulai paham.
Kondisi saat ini membuat anak-anak begitu tertekan dengan
banyaknya berita-berita negatif, bagaimana jadinya kalau seorang anak
bercita-cita ingin jadi seorang koruptor?
Tidak mungkin kita menutup gencarnya informasi yang datang
tersebut. Barangkali di rumah dapat dikendalikan, tetapi siapa yang dapat
mengendalikan ketika jauh dari orang tua atau gurunya. Karenanya suatu sistem pendidikan
yang menyeluruh harus dibuat agar anak memiliki pemahaman yang dapat menjadi
benteng bagi dirinya sendiri dari hal-hal negatif.
Tantangan berikutnya adalah sulitnya orang tua untuk memberi
waktu yang cukup untuk anak-anaknya. Orang tua yang berharap hanya pada sekolah
untuk membuat anak mereka menjadi anak yang baik budi dan pendidikannya tidak
menyadari bahwa pendidikan berawal dari rumah. Peran serta orang tua sangat
penting terutama dalam pembentukan karakter anak. Disiplin diri, mandiri, etika,
dan kejujuran. Orang tua harus menyadari bahwa sekolah tidak mungkin melakukan
semuanya.
Solusi itu dekat.
Walaupun mesin waktu itu belum ada, kita dapat memulai dari
hal kecil untuk mempersiapkan anak-anak kita.
Tiga kemampuan dasar yang mutlak harus dikuasai anak agar
dapat memaksimalkan potensi dirinya adalah, kemampuan untuk memotivasi diri,
sabar, dan bekerja sama dengan orang lain.
Dari sejak dini, tiga hal tersebut bisa diajarkan dengan
cara-cara sederhana. Banyak cara untuk melatih anak memiliki kemampuan
tersebut. Berikut lima cara yang mudah:
Pertama, ajarkan anak untuk berdoa. Beri pemahaman, tidak
ada yang tidak mungkin bagi Tuhan. Dengan berdoa, anak belajar bahwa tugas
manusia adalah beribadah kepada Tuhan. Dan pada akhirnya kita semua akan
kembali kepada-Nya. Dengan memahami esensi berdoa anak tidak akan pernah putus
asa, akan selalu mampu memotivasi dirinya.
Kedua, ajarkan anak untuk antri. Dibandingkan pintar
matematika, pintar antri itu jauh lebih penting. Dengan budaya antri, anak akan
menghargai waktu, juga menghargai orang lain yang tiba lebih dulu.
Ketiga, ajarkan anak untuk membersihkan kamar dan mainannya
sendiri. Dengan cara ini anak belajar menghargai diri sendiri sebelum
menghargai orang lain. Serta belajar mengorganisir barang-barang miliknya.
Keempat, ajarkan anak untuk menabung. Dengan menabung anak
akan lebih mudah memahami pentingnya sabar dan uang.
Dan kelima, ajarkan anak untuk bermain dengan
teman-temannya. Bermain bersama teman memaksa anak untuk bekerja sama,
bertoleransi, juga mengasah kemampuan memimpin.
Dengan konsisten maka kemampuan dasar anak akan tertanam
kuat.
Berikutnya adalah membangun kemampuan memecahkan masalah. Hal ini bisa
mudah dilakukan dengan melatih kemampuan membaca, berbahasa, dan sedikit
kemampuan matematis. Setiap masalah pasti ada solusinya. Sekolah diharapkan bisa
menjadi rumah belajar bagi setiap anak di Indonesia. Tempat dimana anak
berlomba-lomba mencari tahu lebih banyak, memoles dirinya, dan berteman,
bukannya tempat yang menakutkan dengan segala macam ujian dan pekerjaan
rumahnya.
Yang terakhir, sebagus apapun anak saat sekolah jika anak
itu tidak memiliki mental yang tangguh, pasti akan hilang tenggelam dalam
keramaian. Pengalaman pribadi dan teman-teman memperlihatkan, sungguh jauh
berbeda dunia orang dewasa dengan dunia sekolah. Banyak hal yang tidak
diajarkan di sekolah. Ini menjadikan sebuah pertanyaan penting, seperti yang disampaikan
di awal tulisan ini, “Buat apa sekolah?”
Karenanya kemampuan akamedis saja tidak cukup. Tidak ada yang dapat meramal masa depan. Tapi kita selalu
dapat merencanakannya. Dengan berbekal kemampuan entrepreneur setiap anak akan
mampu merencanakan masa depannya sendiri.
Sudah saatnya bangsa ini menjadi yang terdepan di kawasan
regional maupun global. Cara terbaik untuk itu adalah dengan memperbaiki sistem
pendidikan. Adalah dosa besar, apabila kita biarkan generasi penerus bangsa
terpuruk, dan kalah bersaing dengan warga negara asing.
Sebagai penutup, guru saya pernah berkata, “Kita ini bukan
superman. Tidak bisa segelintir orang menyelamatkan semua anak-anak. Tapi jika
semua pihak bisa bekerja sama. Satu visi menyelamatkan semua anak-anak. Itu
mungkin terwujud.”
Subscribe to:
Posts (Atom)